Esmi Warassih mengutip Satjipto Rahardjo yang menegaskan bahwa tidak ada
tatanan sosial, termasuk di dalamnya tatanan hukum, yang tidak bertolak
dari kearifan pandangan tentang manusia dan masyarakat. Dengan kata
lain tidak ada tatanan tanpa paradigman.[1]
Secara etimologis, paradigma berasal dari kata dalam bahasa Yunani, para
yang artinya di samping atau berdampingan dan diegma yang artinya
contoh. Sedangkan secara etimologis sosiologis istilah ini banyak
dipakai sebagai cara pandang, pola, model, anutan dan sebagainya.[2]
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma juga diartikan sebagai
model dalam ilmu pengetahuan juga kerangka berpikir.[3]
Liek Wilaryo mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai ilmuan
dalam kegiatan keilmunnya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang
perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui prosedur yang
bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.[4]
Konsep paradigma muncul karena kegundahan Thomas S. Khun ketika melikat
terkotak-kotaknya ilmuan sosial sebagai akibat dari perselisihan
pendapat yang menyangkut sifat masalah dan metode ilmiah yang diakui
valid. Khun melihat sumber perselisihan tersebut terletak dari perbedaan
paradigma yang dianut masing-masing ilmuan tersebut.[5]
Meskipun Khun dapat disebut sebagai pencetus konsep paradigma, tetapi
dia lebih memilih menggunakan istilah disciplinary matrixs dan exemplar
dibandingkan kata 'paradigma' itu sendiri.[6]
Hukum mempunyai paradigma, yang oleh Satjipto Raharjo diartikan sebagai
perspektif dasar.[7] Dengan adanya paradigma tersebut membawa kita
kepada kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang
mengekspresikan paradigma tersebut. Dengan mengetahui paradigma yang ada
di belakang hukum, kita dapat memahami hukum lebih baik daripada jika
kita tidak dapat mengetahunya.
Lebih lanjut Satjipto Raharjo juga mengemukakan adanya paradigma hukum
yang bermacam-macam. Sebagai akibatnya, maka hukum juga mengekspresikan
bermacam-macam hal sesuai dengan perspektif dasarnya.[8]
Menurut Otje Salman yang dikutip oleh Zainuddin Ali, Paradigma Sosiologi
hukum merupakan pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala sosial
lainnya.[9]
Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan paradigma hukum. Yakni cara
pandang hukum sebagai sistem nilai, ideologi, institusi juga sebagai
"the social engineering" atau rekayasa soaial.
B. HUKUM SEBAGAI SITEM NILAI
Menurut Satjipto Rahardjo, nilai merupakan salah satu paradigma hukum,
sehingga nilai dapat dilihat sebagai sosok hukum juga. Nilai sebagai
perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat.[10] Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara
keseluruhan dipayungi oleh sebuah norma dasar atau basic norm. Norma
dasar inilah yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus penuntun penegakan
hukum. Sebagai sistem nilai, norma dasar tersebut merupakan sumber
nilai dan juga pembatas dalam penerapan hukum.[11]
C. HUKUM SEBAGAI IDEOLOGI
Sebagai paradigma, ideologi tidak membiarkan hukum sebagai suatu lembaga
yang netral. Ideologi merupakan suatu sistem gagasan yang menyetujui
seperangkat norma.[12] Jika norma menetapkan bagaimana cara orang
berperilaku, maka tugas ideologi adalah untuk menjelaskan mengapa harus
bertindak demikian dan mengapa mereka seringkali gagal bertindak
bagaimana semestinya.
Newman berpendapat bahwa ideologi merupakan seperangkat gagasanyang
menjelaskan atau yang melegalisasikan tatanan sosial, struktur kekuasaan
atau cara hidup dilihat dari segi tujuan, kepentingan atau kolektifitas
di mana ideologi itu muncul.[13]
D. HUKUM SEBAGAI INSTITUSI
Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai institusi sosial dimana hukum
menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat agar tercipta keadilan dan
ketentraman. Sehingga masyarakat dapat hidup dengan damai tanpa ada
konflik. Institusi merupakan suatu sistem hubungan sosial yang
menciptakan keteraturan dengan mendefinisikan dan membagikan peran-peran
yang saling berhubungan didalam institusi.[14]
Institusi sosial merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan
pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia. Hukum sebagai suatu lembaga atau institusi sosial, hidup
berdampingan dengan lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling
mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi.[15]
E. HUKUM SEBAGAI REKAYASA SOSIAL
Pemikiran tentang hukum sebagai sarana rekayasa sosial dipelopori oleh
Rescoe Pound dalam bukunya "An Introduction to the Philoshophy of
Law".[16] Pound mengatakan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai
hukum adalah tugas rekayasa sosial. Dalam banyak karangan pound berusaha
memudahkan dan menguatkan tugas rekayas sosial ini dengan merumuskan
dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial, yang keseimbangannya
menyebabkan hukum berkembang. Pound menggolongkan
kepentingan-kepentingan yang secara sah dilindungi, dalam tiga golongan,
yakni kepentingan umum, sosial dan pribadi.[17]
Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial
adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau
keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan
perubhan-perubahan yang diinginkan. Setiap peraturan hukum tentulah
mempunyai tujuannya sendiri, rekayasa sosial merupakan suatu usaha yang
lebih sistematis dan cendekia tentang bagaimana cara mencapai tujun
tersebut.[18]
Hukum sebagai rekayasa sosial, menurut Chairuddin, berfungsi sebagai
independent variebel, dimana masyarakat berfungsi sebagai variebel yang
dipengaruhi oleh hukum. Jika demikian halnya maka perlu ada perencanaan
tentang bentuk masyarakat yang diinginkan itu diwujudkan melalu arah
kebijaksanaan yang ditetapkan.[19]
A. Podgorecki, yang dikutip oleh Satjipto Raharjo, mengembangkan empat asas pokok rekayasa sosial sebagai berikut:
1. Suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi
2. Membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan
menempatkannya dm suatu urutan hirarki. Analisa di sini meliputi pula
pemikiran mengenai apakah cara-cara yang akan dipakai tidak akan lebih
menimbulkan suatu efek yang malah memperburuk keadaan.
3. Melakukan ferifikasi hipotesa-hipotesa, seperti apakah suatu
cara yang dipikirkan untuk dilakukan pada akhirnya nanti memang akan
membawa kepada tujuan sebagaimana dikehendaki.
4. Pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.[20]
Untuk menjamin agar tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa sosial ke
arah kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan
hukum dalam arti kaidah atau perturan, melainkan juga adanya jaminan
atas perwujudan kaidah hukum tersebut dalam praktek hukum, atau dengan
perkataan lain, jaminan akan adanya law enforcement yang baik.[21]
Hukum sebagai social engineering, tentu harus ada subjek yang merubah,
yang biasa disebut dengan agen of change.[22] Agen of change atau
pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga
kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah
sistem sosial dan bahkan menyebabkan perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
F. KESIMPULAN
Bertolak dari rangkaian pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulah bahwa:
·
· Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita
dapat memahami hukum lebih baik daripada jika kita tidak dapat
mengetahunya. Adanya paradigma hukum yang bermacam-macam. Sebagai
akibatnya, maka hukum juga mengekspresikan bermacam-macam hal sesuai
dengan perspektif dasarnya
·
DAFTAR PUSTAKA
_________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Chaeruddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1989
Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah telaah Sosiologis, Semarang: PT Suryandaru Utama, 2005
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990
Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003
Otje Salman, Anton F. Susanto, Teori Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2008
Paul B Horton, Chester L Hunt, Terjemah: Aminuddin Ram, Tita Sobari, Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1984
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Penerbit Alumni, 197
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Yogyakrta: Genta Publishing, 2010
W. Friedmann, Terjemah, Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum,
idealisme filosofis dan Problema keadilan, Jakarta: Rajawali Pers, 1990
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
[1] Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah telaah Sosiologis, (Semarang: PT Suryandaru Utama, 2005), hlm. 71.
[2] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. I, hlm. 83-84
[3] _________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), cet. 4, hlm.
[4] Saifullah, Op.cit., hlm. 84
[5] Ibid., hlm. 85
[6] Ibid., hlm. 84
[7] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah, (Yogyakrta: Genta Publishing, 2010), cet. 2, hlm. 65
[8] Ibid., hlm. 66
[9] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 5, hlm
[10] Satjipto Rahardjo, Op.cit., 2010 hlm. 66
[11] Esmi Warassih, Op.cit., 2005, hlm. 80
[12] Paul B Horton, Chester L Hunt, Terjemah: Aminuddin Ram, Tita Sobari, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1984), hlm. 250
[13] Ibid., 250
[14] Satjipto Rahardjo, Op.cit., 2010, hlm. 82
[15] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 4.
[16] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 56.
[17] W. Friedmann, Terjemah, Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum,
idealisme filosofis dan Problema keadilan, (Jakarta: Rajawali Pers,
1990), hlm. 141.
[18] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hlm. 142.
[19] Chaeruddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), hlm. 144.
[20] Ibid., hlm. 150-151.
[21] Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 40.
[22] Soerjono Soekanto, Op.Cit., 2006, hlm. 122-123.