A. PENDAHULUAN
Al-Quran yang berdampingan dengan hadis Nabi Muhammad SAW, merupakan
petunjuk yang dipercaya oleh umat Islam sebagai pedoman hidup. Keduanya
juga merupakan sumber utama penerapan hukum-hukum syari’ah.
Dari apa yang diredaksikan di dalam al-Quran dan hadis, ada yang dapat
dipahami dengan apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang. Namun,
adakalanya harus masuk ke kedalaman kata atau kalimat yang terkandung di
dalamnya sehingga lahir makna-makna baru yang tidak berhubungan
langsung dengan apa yang tertuliskan, kendati dari jauh ada hubungannya.
Maka, dalam menetapkan suatu hukum, diperlukan adanya usaha untuk
melakukan pengamatan dan penelitian guna memahami apa yang tersurat dan
apa yang tersirat dari teks al-Quran dan hadis tersebut. Dari sini para
ulama menciptakan istilah mantuq dan mafhum.[1]
Untuk mengetahui pengertian dari mantuq dan mafhum merupakan salah satu
tujuan dari penulisan makalah ini. Dan untuk menambah kejelasan dalam
memahami mantuq dan mafhum ini, juga akan disertakan bentuk-bentuk hukum
dari mantuq dan mafhum, implikasi penerapan hukumnya, serta
contoh-contoh dan kaidahnya.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mantuq dan Mafhum
a. Mantuq
Mantuq menurut bahasa adalah yang diucapkan, yang tersurat atau teks.
Sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mantuq adalah sesuatu yang ditunjuk
oleh lafadz sesuai dengan teks ucapan tersebut.[2]
Mantuq dalam pandangan Syafi’iyah, didefinisikan dengan penunjukan lafaz
menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam
lafaz itu.[3]
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan, mantuq adalah sesuatu (makna) yang
ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni menunjukkan makna
berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkannya.[4]
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila kita
memahami suatu hukum dari apa yang terucap atau tersurat secara jelas
dalam lafaz tersebut, maka pemahaman tersebut dinamakan pemahaman secara
“mantuq”.
b. Mafhum
Mafhum artinya adalah yang difaham dan yang tersirat. Menurut istilah
ushul fiqh mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks
ucapan itu.[5] Atau dalam definisi lain, mafhum merupakan pengertian
yang ditujukan oleh lafal tidak ditempat pembicaraan, tetapi dari
pemahaman terhadap ucapan tersebut.[6]
Menurut pandangan ulama Syafi’iyah, mafhum merupakan penunjukan lafal
yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak
berlakuknya hukum yang disebutkan.[7]
Jadi, secara sederhana mafhum adalah apa yang dapat kita pahami dari
suatu lafaz bukan berdasarkan apa yang terucap dari lafaz tersebut
melainkan apa yang tersirat di dalamnya, yakni dari pemahaman ucapan
tersebut.
2. Pembagian Mantuq dan Mafhum
a. Mantuq
Mantuq dibagi menjadi dua:
1. Nash
Yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi.[8]
Dengan kata lain nash merupakan lafz yang bentuknya sendiri telah dapat
menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas, tidak mengandung
kemungkinan makna lain.
Seperti firman Allah SWT:
فَمَنْ لَّمْ يَجِيْدُ فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامِ….
Artinya: Barang siapa yang tidak sanggup (melakukan yang demikian maka
kafaratnya adalah) puasa selama tiga hari. (QS. Al-Maidah: 89)
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna
secara pasti dengan mematahkan segala ta’wil dan kemungkinan.[9]
2. Zhahir
Yaitu suatu perkataan yang menunjukkan suatu makna, bukan yang dimaksud
dan menghendaki kepada penta’wilan.[10] Jadi, pada mantuq zhahir
merupakan lafaz yang menunjukkan suatu makna yang segera dipahami ketika
diucapkan, namun dengan disertai adanya makna lain yang lemah.
Sehingga dapat dipahami bahwa zhahir sama dengan nash dalam penunjukan
makna berdasarkan pada ucapan. Bedanya, nash hanya menunjukkan satu
makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain,
sedangkan zhahir selain menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga
disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah.
Seperti firman Allah SWT:
وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci. (QS. Al-Baqarah: 222)
Para ulama Ushul Fiqh Asy-Syafi’iyah membagi mantuq kepada mantuq sharih dan mantuq gairu sharih.[11]
Mantuq sharih menurut bahasa merupakan sesuatu yang diucapkan secara
tegas. Sedangkan menurut istilah merupakan makna yang secara tegas
ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan penciptannya baik secara
penuh atau berupa bagiannya. Mantuq jenis ini dikenal dengan istilah
‘Ibarat al-Nash di kalangan Hanafiyah.
Mantuq yang kedua menurut Asy-Syafi’iyah adalah mantuq gairu sharih,
yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal,
tetapi sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. mantuq gairu sharih
sendiri dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: dalalat al-ima’, dalalat
al-isyarat dan dalalat al-iqtida’.
1. Dalalat al-ima’
Yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal,
tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum
langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ{رواه الترمذى}
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Barangsiapa yang menghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati,
maka tanah itu menjadi miliknya. ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuq-nya seperti
yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’-nya, yaitu bahwa
aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illat bagi
pemilikan tanah untuknya.[12]
2. Dalalat al-isyarat
Adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan
pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi
dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
3. Dalalat al-iqtida’
Adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman)
pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali
dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ
وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
Artinya: Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan
keterpaksaan. (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan
keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad SAW. Pengertian tersebut
sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk
meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa)
atau al-hukm (hukum), sehingga dengan demikian arti hadis menjadi:
Diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena
lupa atau karena keterpaksaan.
b. Mafhum
Mafhum terbagi kedalam dua bagian, yaitu:[13]
1. Mafhum muwafaqah
Adalah suatu penunjukan lafaz pada hukum yang tertulis pada lafaz itu
berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini
sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam
illat-nya (alasan).
2. Mafhum mukhalafah
Adalah penunjukan lafaz pada hukum yang lahir dari lafaz berlaku bagi
hukum yang tidak disebut dalam lafaz, yang hukum tersebut bertendangan
dengan hukum yang lahir dari mantuq-nya, karena tidak ada alasan yang
berpengaruh dalam hukum.
3. Implikasi Penerapan Hukumnya
Dari segi pengambilan hukum, mantuq sudah jelas dapat dijadikan sebagai
hujjah, karena kejelasan lafaznya. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah,
jumhur ulama berpendapat bahwa mafhum jenis ini dapat dijadikan sebagai
hujjah.[14]
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai penggunaan
mafhum mukhalafah. Jumhur ulama berpendapat bahwa mafhum mukhalafah
dapat digunakan, kecuali mafhum mukhalafah laqab. Dalam penggunaan
mafhum mukhalafah ini tidak bisa langsung serta merta digunakan,
melainkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Berbeda dengan jumhur ulama, para ulama di kalangan madzhab Hanafi
berpendapat bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan.[15]
4. Contoh-contoh dan Kaidahnya
a. Surat al-Isra’ (17) ayat 23
... فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ ....
Artinya: Maka janganlah kamu berkata “uf” terhadap kedua ibu dan bapakmu. (QS. Al-Isra’: 23)
Dalam ayat tersebut dapat dipahami dua pengertian hukum, yakni mantuq
dan mafhum. Mantuq atau hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah
larangan untuk berkata kasar atau “uf” kepada kedua orang tua. Sedangkan
mafhum atau hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat di atas
adalah larangan atau diharamkannya memukul maupun melakukan perbuatan
lain yang dapat menyakiti orang tua.
Mafhum yang digunakan dalam memahami ayat di atas termasuk mafhum
muwafaqah (memahami sesuatu menurut teks tersebut) yang fahwal khitab,
yakni apa yang difahamkan lebih utama hukumnya dari yang diucapkan.
Seperti memukul orang tua hukumnya lebih tidak boleh daripada berkata
kasar kepada orang tua. Jadi, berkata kasar saja tidak boleh apalagi
memukulnya.[16]
b. Surat al-Isra’ ayat 31
وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق
Artinya: Janganlah kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. (QS. Al-Isra’:31)
Mantuq ayat tersebut adalah larangan untuk membunuh anak karena takut
miskin. Sedangkan mafhum mukhalafah-nya adalah diperbolehkannya membunuh
jika bukan karena takut terhadap kemiskinan.[17]
Mafhum ini tidak dapat digunakan karena bertentangan dengan kaidah
ushuliyah, yakni “makna implisit tidak dapat dijadikan sebagai dasar
bila bertentangan dengan makna eksplisit”.[18] Maksudnya adalah mafhum
tidak boleh bertentangan dengan mantuq, makna tersirat tidak boleh
bertentangan dengan makna tersurat.
Mafhum dari ayat di atas bertentangan dengan mantuq ayat di bawah ini:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ
Artinya: Janganlah kamu membunuh manusia yang dilarang Allah, kecuali dengan kebenaran. (QS. Al-Isra’: 33)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa baik takut miskin maupun tidak, membunuh anak tetap tidak diperbolehkan.
C. KESIMPULAN
Bertolak dari uraian singkat mengenai mantuq dan mafhum di atas, pada akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mantuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz
menurut ucapannya, yakni penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf
yang diucapkan. Mantuq dibagi dua, yakni mantuq nash dan mantuq zahir.
Sedangkan mantuq menurut syafi’iyah dibedakan kedalam mantuq sharih dan
mantuq ghairu sharih.
2. Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak
berdasarkan pada bunyi ucapan. Mafhum juga dibagi menjadi dua, yakni
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
3. Mengenai kehujjahan mantuq dan mafhum muwafaqqah diperbolehkan
menggunakannya, karena sudah sesuai dengan teks yang tersurat. Sedangkan
untuk mafhum mukhalafah masih terdapat perbedaan pendapat dalam
penggunaannya dengan alasan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh; Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
Abdul Wahab Khallaf, Terjemah: Halimuddin, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), cet. 4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh; Jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Hasbillah, Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013)
Khairul Umam, Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001)
Manna’ Khalil al-Qattan, Terjemah: Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pusaka Litera AntarNusa, 2006), cet. 6
Muhammad bin Alawi al-Maliky, Terjemah: Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an, (Pekalongan: Al Asri, 2008)
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturanyang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, (Tangerang: Lentera
Hati, 2013)
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)
[1] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturanyang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, (Tangerang:
Lentera Hati, 2013), cet. 2, hlm. 168
[2] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh; Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 98
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh; Jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 144
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Terjemah: Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pusaka Litera AntarNusa, 2006), cet. 6, hlm. 358
[5] A. Basiq Djalil, Op.Cit., hlm. 98
[6] Khairul Umam, Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), cet. 2, hlm. 47
[7] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 146
[8] Muhammad bin Alawi al-Maliky, Terjemah: Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an, (Pekalongan: Al Asri, 2008), hlm. 85
[9] Manna’ Khalil al-Qattan, Op.Cit., hlm. 359
[10] Khairul Umam, Ahyar Aminudin, Op.Cit., hlm. 46
[11] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), cet: 3, hlm. 211
[12] Ibid., hlm. 212
[13] Hasbillah, Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 64
[14] Muhammad bin Alawi al-Maliky, Op.Cit., hlm. 91
[15] Khairul Umam, Ahyar Aminudin, Op.Cit., hlm. 54-55
[16] Ibid., hlm. 49
[17] Ibid., hlm. 47
[18] Hasbillah, Op.Cit., hlm. 130