Oleh: Lailatu Rohmah, M.S.I[1]
A. Latar Belakang Masalah
Pesantren
atau pondok adalah lembaga yang merupakan wujud proses wajar
perkembangan sistem pendidikan nasional. Sebagai bagian lembaga
pendidikan nasional, kemunculan pesantren dalam sejarahnya telah berusia
puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun, dan disinyalir sebagai
lembaga yang memiliki kekhasan, keaslian (indegeneous) Indonesia.[2] Sebagai institusi indegeneous,
pesantren muncul dan terus berkembang dari pengalaman sosiologis
masyarakat di sekitar lingkungannya. Akar kultural ini barangkali
sebagai potensi dasar yang telah menjadikan pesantren dapat bertahan,
dan sangat diharapkan masyarakat dan pemerintah.
Pesantren
sebagai sebuah institusi budaya yang lahir atas prakarsa dan inisiatif
(tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak awal berdirinya merupakan
potensi strategis yang ada di tengah kehidupan sosial masyarakat.
Kendati kebanyakan pesantren hanya memposisikan dirinya sebagai
institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa
pesantren telah berusaha melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai
persoalan sosial masyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Pesantren
dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan kepadanya,
sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diembannya,
yaitu: (1) sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (centre of exellence), (2) sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource), (3) sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development).[3] Selain ketiga fungsi tersebut pesantren juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial (social change) di tengah perubahan yang terjadi.
Dalam
keterlibatannya dengan peran, fungsi, dan perubahan yang dimaksud,
pesantren memegang peranan kunci sebagai motivator, inovator, dan
dinamisator masyarakat. Hubungan interaksionis-kultural antara pesantren
dengan masyarakat menjadikan keberadaan dan kehadiran institusi
pesantren dalam perubahan dan pemberdayaan masyarakat menjadi semakin
kuat. Namun demikian harus diakui, belum semua potensi besar yang
dimiliki pesantren tersebut dimanfaatkan secara maksimal, terutama yang
terkait dengan konstribusi pesantren dalam pemecahan masalah-masalah
sosial ekonomi umat.
Pada batas tertentu pesantren tergolong di antara lembaga pendidikan keagamaan swasta yang leading, dalam arti berhasil merintis dan menunjukkan keberdayaan baik dalam hal kemandirian penyelenggaraan maupun pendanaan (self financing).
Tegasnya selain menjalankan tugas utamanya sebagai kegiatan pendidikan
Islam yang bertujuan regenerasi ulama, pesantren telah menjadi pusat
kegiatan pendidikan yang konsisten dan relatif berhasil menanamkan
semangat kemandirian, kewiraswastaan, semangat berdikari yang tidak
menggantungkan diri kepada orang lain.[4]
Pengembangan
ekonomi masyarakat pesantren mempunyai andil besar dalam menggalakkan
wirausaha. Di lingkungan pesantren para santri dididik untuk menjadi
manusia yang bersikap mandiri dan berjiwa wirausaha.[5]
Pesantren giat berusaha dan bekerja secara independen tanpa
menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah swasta.
Secara kelembagaan pesantren telah memberikan tauladan, contoh riil (bi al-haal)
dengan mengaktualisasikan semangat kemandirian melalui usaha-usaha yang
konkret dengan didirikannya beberapa unit usaha ekonomi mandiri
pesantren. Secara umum pengembangan berbagai usaha ekonomi di pesantren
dimaksudkan untuk memperkuat pendanaan pesantren, latihan bagi para
santri, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Perubahan
dan pengembangan pesantren terus dilakukan, termasuk dalam menerapkan
manajemen yang profesional dan aplikatif dalam pengembangannya. Karena istilah manajemen telah membaur ke seluruh sektor kehidupan manusia.[6] Di
antara pengembangan yang harus dilakukan pesantren adalah, pengembangan
sumber daya manusia pesantren, pengembangan komunikasi pesantren,
pengembangan ekonomi pesantren, dan pengembangan teknologi informasi
pesantren.
B. Manajemen Kewirausahaan Kependidikan
1. Pengertian Manajemen
Definisi manajemen secara terminologi menurut Terry adalah management
is a district process consisting of planning, organizing, actuating,
and controlling performed to determined and accomplish stated objectives
by the use of human being and other resources.[7] Manajemen
sering diartikan sebagai ilmu, kiat, dan profesi. Dikatakan sebagai
ilmu oleh Luther Gulick karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang
pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan
bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat karena manajemen
mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain dalam
menjalankan tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi
oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi. Kegiatan manajemen
dalam berbagai aktifitas, secara umum berperan merencanakan,
mengorganisir, menggerakkan, melakukan evaluasi dan melakukan
pengontrolan.
a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan
pada hakekatnya adalah aktivitas pengambilan keputusan tentang sasaran
apa yang akan dicapainya, tindakan apa yang akan diambil dalam rangka
mencapai tujuan atau sasaran tersebut dan siapa yang akan melaksanakan
tugas tersebut. Pembuatan suatu perencanaan
kegiatan organisasi menuntut setiap anggota organisasi untuk tidak
mengabaikan visi, misi dan tujuan organisasi yang telah dibuat secara
bersama.
b. Pengorganisasian
Pengorganisasian
dapat diartikan sebagai kegiatan membagi tugas kepada orang yang
terlibat dalam organisasi. Pengorganisasian juga berfungsi untuk
mengatur sistem kerjasama yang jelas siapa menjalankan apa, siapa
bertanggung jawab atas siapa, dan memfokuskan sumber daya pada tujuan.
Salah satu prinsip pengorganisasian adalah terbaginya semua tugas dalam
berbagai unsur organisasi secara profesional dan proporsional, dengan
kata lain pengorganisasian yang efektif adalah membagi habis dan
menstruktur tugas-tugas ke dalam komponen organisasi. Pengorganisasian
juga mengatur mekanisme kerja organisasi, sehingga dengan pengaturan
tersebut dapat menjamin tujuan yang ditentukan.[8]
c. Penggerakan
Penggerakan
adalah salah satu fungsi manajemen yang berfungsi untuk merealisasikan
hasil perencanaan dan pengorganisasian. Penggerakan adalah upaya untuk
menggerakkan atau mengarahkan tenaga kerja (man power)
serta mendayagunakan fasilitas yang ada yang dimaksud untuk
melaksanakan pekerjaan secara bersama. Penggerkana sangat trekait dengan
penggunaan berbagai sumber daya organisasi, oleh karenanya kemampuan
memimpin, memberi motivasi, berkomunikasi, menciptakan iklim dan budaya
organisasi yang kondusif menjadi kunci penggerakan.[9]
d. Pengawasan
Pegawasan
merupakan fungsi manajemen yang berguna untuk mengetahui seberapa jauh
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dapat tercapai. Pengawasan
itu dapat membantu pemimpin untuk mengukur efektivitas perencanaan,
pengorganisasian, dan pelaksanaan yang terjadi di lapangan, serta dapat
membantu pemimpin untuk mengambil tindakan atau keputusan yang akurat
sebagai kebutuhan organisasi.
Pengawasan yang baik memerlukan langkah-langkah pengawasan, yaitu:
1) Menentukan tujuan standar kualitas pekerjaan yang diharapkan.
2) Mengukur dan menilai kegiatan-kegiatan atas dasar tujuan dan standar yang ditetapkan.
3) Memutuskan dan mengadakan tindakan perbaikan.[10]
3. Substansi Manajemen Pendidikan: Inti dan Ekstensi
Manajemen
di bidang apapun, dari segi prosesnya hampir tidak berbeda, namun yang
membedakan antara manajemen bidang satu dengan bidang yang lain adalah
aspek substansinya, atau bidang garapannya. Aspek substansi ini lazim
juga mendapat sebutan ruang lingkup, bidang garapan, cakupan, dan isi.
Bahkan, substansi manajemen pendidikan dapat dikatakan sebagai manajemen
operatif. Yang menjadi substansi manajemen pendidikan adalah:
a. Manajemen kurikulum dan pembelajaran.
b. Manajemen peserta didik.
c. Manajemen tenaga kependidikan.
d. Manajemen sarana dan prasarana.
e. Manajemen keuangan
Pada
hakikatnya substansi manajemen dapat dibagi menjadi dua, yaitu
substansi manajemen pendidikan inti dan substansi manajemen pendidikan
ekstensi. Substansi manajemen pendidikan inti tidak berbeda dengan
substansi manajemen pendidikan yang telah dikemukakan di atas. Substansi
manajemen pendidikan ekstensi adalah substansi manajemen pendidikan
yang diperluas, yaitu bidang-bidang garapan di dunia pendidikan yang
mesti dikelola juga, karena mempunyai dampak yang besar terhadap
substansi manajemen pendidikan inti. Seiring makin besarnya tuntutan
masyarakat akan layanan pendidikan, beberapa aspek substantif ini perlu
ditata, agar memberikan konstribusi bagi kesuksesan manajemen pendidikan
inti. Substansi manajemen pendidikan ekstensi meliputi:
a. Manajemen waktu.
b. Manajemen konflik.
c. Manajemen perubahan.
d. Manajemen kultur sekolah.
e. Manajemen komunikasi dan dinamika kelompok.
f. Manajemen SIM.
g. Manajemen kewirausahaan.
Istilah
“kewirausahaan” dalam manajemen kewirausahaan menurut Thompshon dan
Riccuci, sebagaimana dikutip oleh Fadel Muhammad menunjukkan makna
manajemen yang dilandasi “enterprise culture”, atau yang dilandasi oleh karakter “risk culture”.[13]
Dalam perkembangannya, makna kewirausahaan tidak hanya diterapkan pada
sektor swasta tetapi juga pada sektor publik dan sektor pendidikan.
Pada sektor publik, makna tersebut terus berkembang dengan munculnya pemikiran tentang public entrepreneurship
yaitu proses penciptaan nilai bagi warga negara dengan mengkombinasikan
sumber daya publik dan atau swasta dan memanfaatkannya untuk
mendapatkan social opportunities. Makna ini diilhami oleh konsep yang telah berkembang sejak tahun 1980-an seperti social, political, and policy entrepreneur. Makna kewirausahaan ini menuntut adanya public sector entrepreneurship yang menjelaskan jenis-jenis perilaku entrepreneurial yang harus ditunjukkan oleh sejumlah aktor politik dan pemerintahan.[14]
Manajemen
kewirausahaan dalam lembaga pendidikan merupakan substansi manajemen
pendidikan ekstensi yang mempunyai peran penting untuk bersama-sama
substansi manajemen pendidikan inti mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan. Kewirausahaaan dalam lembaga pendidikan mengandung dua
pengertian dan penerapan, yaitu:
a. Upaya menerapkan nilai-nilai kewirausahaan dalam mengelola lembaga pendidikan.
b. Memanfaatkan
potensi yang dimiliki/dapat diupayakan oleh suatu lembaga pendidikan
menjadi kegiatan ekonomi sehingga menghasilkan laba yang dapat digunakan
untuk memajukan lembaga pendidikan yang bersangkutan.[15]
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya bahwa fungsi-fungsi manajemen mencakup
beberapa aktifitas, yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan,
dan pengawasan. Begitu pula dengan manajemen kewirausahaan kependidikan,
aktifitas manajerialnya sesuai dengan fungsi-fungsi manajemen tersebut.[16]
Nilai-nilai
kewirausahaan dalam lembaga pendidikan menjadi isu baru yang selalu
digalakkan pemerintah. Dalam faktanya, di antara lembaga pendidikan yang
telah banyak mengembangkan unit usaha adalah pesantren. Keberhasilan
pesantren dalam mengembangkan unit usaha ini tentunya didukung oleh
beberapa faktor, di antaranya semangat entrepreneur seorang kiai,
manajemen pengembangannya dan networking yang dibentuk oleh pesantren
tersebut.
Kewirausahaan
adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam
menangani usaha atau suatu kegiatan yang mengarah pada pada upaya
mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru
dengan meningkatkan efisiensi dalam rangkap memberikan pelayanan yang
lebih baik atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.[17] Wirausaha
adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru,
menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk
baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.[18]
b. Ciri-Ciri yang Perlu Dimiliki Wirausaha
Menurut
John Hornaday, sebagaimana yang dikutip oleh Winardi, ciri-ciri
wirausahawan yang berhasil adalah mereka yang memiliki sifat-sifat:
kepercayaan pada diri sendiri (self-confidence), penuh energi,
dan bekerja dengan cermat, kemampuan untuk menerima resiko yang
diperhitungkan, memiliki kreativitas, fleksibilitas, reaksi positif
terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi, jiwa dinamis dan jiwa
kepemimpinan, kemampuan bergaul dengan orang lain, kepekaan untuk
menerima saran-saran dari orang lain, menerima kepekaan terhadap
kritik-kritik yang dilontarkan terhadapnya, memiliki pengetahuan
(memahami) pasar, dan keuletan serta kebulatan tekad untuk mencapai sasaran-sasaran (perseverance, determination), banyak akal (resourcefulness), rangsangan/kebutuhan akan prestasi, inisiatif, memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri (independent) dan pandangan tentang masa yang akan datang (foresight), berorientasi pada laba, memiliki sikap perseptif (perceptivness), berjiwa optimisme, memiliki keluwesan (versatility) dan pengetahuan/pemahaman tentang produk dan teknologi.[19]
Lebih
rinci Ahmad menyebutkan bahwa seorang wirausaha selalu tidak merasa
puas dengan kesuksesannya. Mereka akan selalu memperbaiki kinerjanya
dari segi kualitas dan kuantitas serta mengungguli kemampuan dan kerja
orang lain.[20]
Ketidakpuasan ini mendorong wirausaha tersebut berusaha lebih giat dan
bersungguh-sungguh untuk mencapai standar yang ditetapkan olehnya dan
standar orang lain. Hal ini akan mendorong wirausaha untuk terus belajar
tanpa mengenal batas.
C. Pengembangan Wirausaha dan Penyelenggaraan Unit Usaha Ekonomi di Pesantren
Berpedoman
pada anggapan dasar bahwa tidak semua lulusan atau alumni pesantren
akan menjadi ulama atau kiai, dan memilih lapangan pekerjaan di bidang
agama, maka keahlian-keahlian lain seperti pendidikan ketrampilan perlu
diberikan kepada santri sebelum santri itu terjun ke tengah-tengah
masyarakat yang sebenarnya. Di pihak lain, guna menunjang suksesnya
pembangunan, diperlukan partisipasi semua pihak, termasuk pihak
pesantren sebagai suatu lembaga yang cukup berpengaruh di tengah-tengah
masyarakat ini merupakan potensi yang dimiliki oleh pesantren secara
historis dan tradisi. Urgensi pengelolaan dan pengembangan mengingat
banyaknya potensi ekonomi yang dimiliki oleh pesantren. Potensi ekonomi
yang dimiliki pesantren adalah:[21]
1. Kiai-Ulama
Kiai-ulama
pesantren yang dipandang sebagai potensi pesantren yang mempunyai nilai
ekonomis, setidaknya dapat kita lihat pada tiga hal:
a. Kedalaman
ilmu kiai-ulama. Artinya, figur seorang kiai merupakan magnet (daya
tarik) yang luar biasa bagi calon santri untuk berburu ilmu.
b. Pada
umumnya, seorang kiai adalah tokoh panutan masyarakat dan pemerintah.
Ketokohan seorang kiai ini memunculkan sebuah kepercayaan, dan dari
kepercayaan melahirkan akses.
c. Pada
umumnya, seorang kiai sebelum membangun pesantren telah mandiri secara
ekonomi, misalnya sebagai petani, pedagang, dan sebagainya. Sejak awal
kiai telah mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, tidak hanya dari
aspek mental, tetapi juga sosial ekonomi. Jiwa dan semangat
entrepreneurship inilah yang mendasari kemandirian perokonomian
pesantren. Apabila aset dan jiwa entrepreneurship ini dipadukan, maka
hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan ekonomi pesantren.[22]
2. Santri
Potensi
ekonomi kedua yang melekat pada pesantren adalah para santri. Hal ini
dipahami bahwa pada umumnya santri mempunyai potensi/bakat bawaan
seperti kemampuan membaca al-Qur’an, kaligrafi, pertukangan, dan lain
sebagainya. Bakat bawaan ini sudah seharusnya selalu dipupuk dan
dikembangkan agar menjadi prokuktif.
3. Pendidikan
Potensi
ekonomi dari pendidikan pesantren ini terletak pada santri/murid, guru,
sarana dan prasarana. Dari sisi santri/murid, sudah barang tentu
dikenai kewajiban membayar SPP, di samping sumbangan-sumbangan wajib
lainnya. Untuk kelancaran proses belajar mengajar, diperlukan
seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa
dikembangkan salah satu unit usaha pesantren yang menyediakan sarana
belajar tersebut. Misalnya toko buku/kitab, alat tulis, dan photo copy.
Belum lagi dari sisi kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, air,
telephon, asrama, pakaian, dan lain sebagainya.[23]
Melihat
begitu banyaknya peluang untuk mengembangkan wirausaha di pesantren,
maka akan sangat menguntungkan jika pesantren mengelolanya menjadi
kegiatan usaha ekonomi. Kegiatan ini dapat dikembangkan oleh pesantren
dan dimulai dengan:
a. Perencanaan
(menumbuhkan gagasan, menetapkan tujuan, mencari data dan informasi,
merumuskan kegiatan-kegiatan usaha dalam mencapai tujuan sesuai dengan
potensi yang ada, melakukan analisis SWOT, dan memusyawarahkan).
b. Pemilihan jenis usaha dan macam usaha. Dalam menentukan kegiatan ini yang perlu diperhatikan adalah:
1) Luas lahan yang dimiliki oleh pesantren.
2) Sumber daya manusia pesantren.
3) Tersedianya sarana peralatan dan bahan baku yang ada di pesantren.
4) Kemungkinan
pemasarannya. Ini erat kaitannya dengan potensi permintaan masyarakat
terhadap jenis produksi, barang atau bahkan jasa tertentu.[24]
Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, maka jenis-jenis usaha yang dapat didirikan di pesantren adalah:
a. Bidang perdagangan.
b. Bidang pertanian dan agribisnis.
c. Bidang industri kecil.
d. Bidang elektronika dan perbengkelan.
e. Bidang pertukangan kayu.
f. Bidang jasa.
g. Bidang keuangan/lembaga keuangan.
h. Bidang koperasi.
i. Bidang pengembangan teknologi tepat guna.[25]
Berbagai
bidang wirausaha yang sangat strategis di atas telah dikembangkan dan
dikelola di berbagai pesantren. Dengan pengelolaan dan pengembangan
wirausaha banyak manfaat yang diperoleh, di antaranya membantu pendanaan
pesantren, memberdayakan ekonomi masyarakat, dan pendidikan
kewirausahaan bagi para santrinya. Beberapa pesantren yang telah
berhasil mengembangkan unit usaha ekonomi pesantren adalah:
1. Pesantren Sunan Drajat Lamongan
Produk-produk
usaha yang telah dihasilkan oleh Pondok Pesantren Sunan Drajat antara
lain: perkebunan dan jus mengkudu, industri minyak kayu putih cap
“Cobra”, minuman (vitamin) penggemukan sapi, dan pupuk alam.[26]
Salah satu faktor keberhasilan Pondok Pesantren Sunan Drajat dalam
mengembangkan wirausaha adalah keberhasilannya dalam menjalin networking dengan berbagai instansi.
2. Pesantren Sidogiri Pasuruan
Usaha
yang dikembangkan oleh Pesantren Sidogiri Pasuruan ini di antaranya
adalah BPR dan BMT. Beberapa Cabang BMT Pondok Pesantren Sidogiri adalah
BMT I di Wonorejo, BMT II di Sidogiri, BMT III (Produksi dan Penjualan
Padi), BMT IV Sidogiri (kantor pusat), BMT V di Warungdowo, BMT VI di
Kraton, BMT VII di Rembang, BMT VIII (Selep Padi di Jetis), BMT IX di
Nongkojajar, BMT X di Grati, dan BMT XI di Gondang Wetan. BPR dan BMT
ini bersifat independen secara organisatoris dengan pondok pesantren,
tetapi dependen secara nilai dan moral.[27]
Selain BPR dan BMT Pondok Pesantren Sidogiri juga memiliki Koppontren yang secara garis besar dibagi dalam dua wilayah, yaitu:
a. Di
kompleks ponpes dengan sasaran utama komunitas santri. Yang termasuk
jenis usaha ini adalah toko kitab dan serba ada, dan warung makan.
b. Di
luar pesantren dengan sasaran utama masyarakat umum. Yang termasuk
jenis usaha ini adalah: toko serba ada, toko kebutuhan pokok, percetakan
dan stationary, pertanian dan perekebunan, warpostel, dan mini market.
Di
samping jenis usaha tersebut, Koppontren Sidogiri juga mempunyai
komoditi unggulan: Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), baju takwa
“Sidogiri”, sarung “Santri”, telepon kartu bebas (kerjasama dengan
Telkom), dan percetakan. Koppontren ini secara struktural terkait
langsung dengan pondok pesantren.
Keberhasilan
Pondok Pesantren Sidogiri dalam mengembangkan usaha ekonominya didukung
oleh networking yang dibangun dengan instansi bisnis yang lainnya,
serta manajemen kewirausahaan yang variataif sebagian secara integrated structural dan sebagaian integrated non structural yang lebih memberikan keleluasaan bagi lembaga usaha tersebut untuk mengembangkan usahanya.
3. Pesantren Putri al-Mawaddah Ponorogo
Usaha-usaha
ekonomi yang telah dibuka Pesantren Putri al-Mawaddah Ponorogo adalah
SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum), AMDK (Air Minum Dalam
Kemasan) “Maaunnada”, Koperasi Pesantren Putri al-Mawaddah (KOPPMADA),
perkebunan palawija, peternakan sapi, unit produksi pakan ternak
probiotik, produk-produk industri kecil mandiri, wartel al-Mawaddah,
warnet al-Mawaddah, foto copy dan percetakan Alma Offset, mini market
Kiswah, dan transportasi Alma Transport.[28]
Keberhasilan
Pesantren Putri al-Mawaddah dalam mengembangkan berbagi wirausaha
didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah jiwa wirausaha dan
penerapan nilai-nilai wirausaha yang dimiliki oleh para pimpinan
pesantren, networking yang dijalin dengan instansi lain, dan
keterlibatan masyarakat sekitar dalam mengelola berbagai wirausaha
tersebut.
4. Pesantren al-Ittifaqiyah Ogan Ilir Palembang
Melalui network
yang dibangun, Pesantren Ogan Ilir mampu mengembangkan beberapa unit
usaha ekonomi, yaitu jasa foto copy, percetakan, unit simpan pinjam pola
syari’ah dan transformasi. Mereka juga mempunyai koperasi pesantren,
toko buku, dan kantin. Selain itu dalam bidang pertanian memiliki
perkebunan karet, pohon jati, sayur-sayuran, dan juga memiliki
peternakan itik dan ikan air tawar.[29]
D. Problem Pengembangan Wirausaha di Pesantren
Salah
satu fungsi dan peran pesantren adalah pemberdayaan ekonomi umat.
Pengembangan wirausaha menjadi salah bidang yang penting untuk dikelola.
Mengacu pada peran dan fungsi pesantren yang diemban tersebut,
setidaknya ada tiga problem mendasar dalam pengembangan unit usaha di
pesantren yang harus disadari bersama dan segera dicari solusinya.
1. Sumber daya manusia (SDM)
Kualitas
SDM di Indonesia yang dinilai masih sangat minim, secara objektif harus
diakui bahwa sebagian di antaranya adalah sumber daya manusia
pesantren. SDM di sini tentu saja tidak hanya meliputi kemampuan dasar
akademis, tetapi juga kemampuan skill individual-kolektif. Perpaduan
antara kemampuan akademis dan skill individual-kolektif inilah yang pada
saatnya sangat menentukan terhadap kualitas suatu produk. Terbatasnya
sumber daya manusia pesantren inilah yang menjadi problem pengembangan
wirausaha di pesantren.
2. Kelembagaan
a. Integrated Structural
Model kelembagaan integrated structural
adalah semua unit/bidang yang ada dalam pesantren merupakan bagian tak
terpisahkan dalam pesantren. Model seperti ini, sebenarnya tidak terlalu
bermasalah, dengan syarat masing-masing bagian mempunyai job description yang jelas, termasuk hak dan kewenangannya. Sebaliknya, apabila tanpa adanya job description
yang jelas, sementara kendali organisasi berpusat hanya pada satu
orang, maka dapat dipastikan bahwa sistem keorganisasian dan kelembagaan
sulit untuk berkembang.[30]
b. Integrated Non Structural
Model kelembagaan pesantren integrated non structural
adalah unit atau bidang-bidang, misalnya bidang usaha ekonomi, bidang
pengabdian masyarakat, dan bidang kesehatan yang dikembangkan pesantren
terpisah secara struktural organisatoris. Artinya, setiap bidang
mempunyai struktur tersendiri yang independen. Meski demikian, secara
emosional dan ideologis tetap menyatu dengan pesantren. Pemisahan
lembaga ini dimaksudkan sebagai upaya kemandirian lembaga, baik dalam
pengelolaan atau pengembangannya. Model kelembagaan seperti ini biasanya
mengadopsi sistem manajemen modern. Karenanya tolok ukurnya adalah
profesionalisme.
3. Terobosan/Inovasi dan Networking/Jaringan
Problem
ketiga yang dirasa mendasar adalah kurangnya keberanian dari pesantren
untuk melakukan terobosan ke luar, atau membuat jaringan, baik antara
pesantren, maupun antara pesantren dengan institusi lain. Pentingnya
pesantren untuk membina hubungan dengan institusi lain adalah untuk
memahami eksistensinya sebagai agent of development. Sebab, untuk
menjadi agen perubahan dan pemberdayaan, ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi, antar lain: wawasan, komunikasi, kekuasaan/kekuatan,
politik, dan modalitas ekonomi. Dengan jaringan dan kerjasama yang
dijalin, pesantren diharapkan mampu meningkatkan komunikasi, wawasan,
dan kekuatan yang dimilikinya.
E. Kesimpulan
Secara
umum dapat digambarkan bahwa lembaga pendidikan yang telah banyak
berhasil dalam mengembangkan wirausaha dan mengelola berbagai bidang
unit usaha adalah pesantren. Hal ini merupakan upaya nyata dari para
pimpinan pesantren dalam menerapkan nilai-nilai wirausaha dalam
mengelola lembaga pendidikannya seperti kemampuan melihat peluang,
keberanian dan bertanggungjawab atas usaha yang dilakukan, serta
memanfaatkan potensi yang dimiliki atau yang diupayakan oleh pesantren
menjadi kegiatan ekonomi sehingga menghasilkan laba yang dapat digunakan
untuk mendukung eksistensi pesantren. Inilah makna manajemen
kewirausahaan dalam lembaga pendidikan.
Beberapa
model pengembangan usaha ekonomi pesantren di antaranya adalah; usaha
ekonomi yang berpusat pada kiai, usaha ekonomi pesantren untuk
memperkuat biaya operasional pesantren, usaha ekonomi untuk santri
dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak
ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren, dan
usaha ekonomi bagi para alumni pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari, Kewirausahaan, Bandung: Alfabeta, 2008.
Buang, Nor Aishah dan Murni, Isteti, Prinsip-Prinsip Kewirausahaan Konsep, Teori, Model Pembentukan Wirausaha, Bangi: Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia: 2006.
Halim, A., “Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren”, dalam A. Halim, et. al. (eds), Manajemen Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Hidayat, Ara dan Machali, Imam, Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, Bandung: Pustaka Educa: 2010.
Imron, Ali, ”Manajemen Pendidikan: Substansi Inti dan Ekstensi”, dalam Ali Imron, et. al (eds), Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan, Malang: Universitas Negeri Malang, 2003.
Isnaini,
M., “Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi Modern Studi terhadap Peran
Santri di Pesantren Roudhotul Ulum dan Al-Ittifaqiyah Ogan Ilir”, dalam
Irwan Abdullah, et. al. (eds) Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Longenecker, Justin G, dkk, Kewirausahaan: Manajemen Usaha Kecil, Buku 2, Jakarta: Salemba Empat, 2001.
Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Muhammad, Fadel, Reinventing Local Government Pengalaman dari Daerah, Jakarta: PT Elex Media Computindo, Compas Gramedia, 2008.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. 2 Cetakan 4, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Rohmah, Lailatu, Manajemen Kewirausahaan Pesantren (Studi di Pesantren Putri al-Mawaddah Coper Jetis Ponorogo), Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Tidak dipublikasikan.
Sagala, Syaiful, Adiministrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2005.
Suhartini, “Problem Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren”, dalam A. Halim, et. al (eds), Manajemen Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Sulton, ”Manajemen Kewirausahaan Pendidikan”, dalam Ali Imron, et. al (eds), Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan, Malang: Universitas Negeri Malang, 2003.
Syamsudduha, Manajemen Pesantren: Teori dan Praktek Yogyakarta: Grha Guru, 2004.
Terry, George R. dan Rue, Leslie W., Dasar-Dasar Manajemen, Terj. G. A. Ticoalu, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005.
Tim Penyusun, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003.
Thoha, Habib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Usman, Husaini, Manajemen; Teori, Praktek dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Winardi, J., Entrepreneur dan Entrepreneurship, Jakarta: Kencana, 2004.
Zein,
Mahmud Ali, “Model-Model Perkembangan Ekonomi Pondok Pesantren:
Pengalaman Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan”, dalam A. Halim, dkk, Manajemen Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/manajemen-kewirausahaan-pesantren.html
[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 3.
[3] Suhartini, Problem Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim et. al. (eds). Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 233.
[4] Habib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 52.
[5] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 95.
[6] Syamsudduha, Manajemen Pesantren: Teori dan Praktek (Yogyakarta: Grha Guru, 2004), hlm. 15-16.
[7] George R. Terry, Pripnciples of Management (Ontario: Richard D. Irwin. Inc, 1997), hlm. 4.
[8] Syaiful Sagala, Adiministrasi Pendidikan Kontemporer (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 49.
[9] Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah (Bandung: Pustaka Educa: 2010), hlm. 27.
[10] Ibid.,
[11] Ali Imron, Manajemen Pendidikan: Substansi Inti dan Ekstensi, dalam Ali Imron, et. al, dkk (eds), Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), hlm. 7
[13] Fadel Muhammad, Reinventing Local Government Pengalaman dari Daerah (Jakarta: PT Elex Media Computindo, Compas Gramedia, 2008) hlm. 24.
[14] Ibid., hlm. 24-25.
[15] Sulton, Manajemen Kewirausahaan Kependidikan dalam Ali Imron at. al. (ed), Manajemen Pendidikan Analisis Subtantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), hlm. 233.
[16] Justin G Longenecker, dkk, Kewirausahaan: Manajemen Usaha Kecil, Buku 2 (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hlm. 486-487.
[17] Sulton, Manajemen Kewirausahaan Pendidikan, dalam Ali Imron, et. al (ed), Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), 233.
[18]W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. 2 Cetakan 4 (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 1012.
[19] J. Winardi, Entrepreneur, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 27-28.
[20] Nor Aishah Buang dan Isteti Murni, Prinsip-Prinsip Kewirausahaan Konsep, Teori, Model Pembentukan Wirausaha (Bangi: Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia: 2006), hlm. 13.
[21] A. Halim, Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim, et. al. (ed), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 223.
[22] Ibid., hlm. 223.
[23] Ibid., hlm. 224.
[24]
Tim Penyusun, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan
Perkembangannya (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 94-95.
[25] Ibid., hlm. 95.
[26] Suhartini, Problem Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren dalam A. Halim, et. al. (ed), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 241.
[27]
Mahmud Ali Zein, Model-Model Perkembangan Pondok Pesantren: Pengalaman
Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, dalam A. Halim, et. al. (ed), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 305-307.
[28] Lailatu Rohmah, Manajemen Kewirausahaan Pesantren (Studi di Pesantren Putri al-Mawaddah Coper Jetis Ponorogo), Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Tidak dipublikasikan, hlm. 119-133.
[29]
M. Isnaini “Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi Modern Studi terhadap
Peran Santri di Pesantren Roudhotul Ulum dan Al-Ittifaqiyah Ogan Ilir”,
dalam Irwan Abdullah, et. al (eds) Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 186.
[30] Ibid., hlm. 238-239.