A.
Pendahuluan
Membicarakan masalah hubungan Agama dan
Negara adalah sesuatu yang menarik, mengapa? Kita tahu Agama dan Negara
bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun
juga agama tetap memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena
agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang
menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan
agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Sebaliknya, Negara (pemerintah) sangat
menentukan terhadap perkembangan suatu Agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan
terhadap hal yang berbau keagamaan sangat mempengaruhi terhadap terciptanya
masyarakat madani (civil society) seperti yang menjadi cita-cita kedua
belah pihak. Bila kebijakan Negara cenderung berpihak kepada salah satu agama
tertentu, tak ayal jika Negara atau keadaan Negara tidak akan kondusif, timbul
konflik yang mengarah ke unsur SARA.
Norma-norma agama dipandang sebagai
hukum yang efektif untuk membentuk tatanan masyarakat yang beradab karena
keberadaan agama bagi setiap individu sangat vital. Hal ini dikarenakan agama
mengajarkan atau menghubungkan makhluk dengan kholiknya. Selain itu
dalam agama terdapat berita gembira, ancaman, janji dan sebagainya yang
ditujukan pada pemeluknya. Hal inilah sebetulnya yang diinginkan setiap Negara
terhadap keadaan masyarakat yakni masyarakat yang berketuhanan atau boleh
dikatakan sebagai manusia yang “pancasilais”.
Hubungan antara Agama Islam dan Negara
selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan: pertama, sejak
kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni agama
dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur
masyarakat berdasarkan Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan
mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa
kesemuanya dalam taraf coba-coa dan belum ada yang sepenuhnya berhasil,
termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang
sering menimbulkan sikap arogan dari pemerintah. Sebetulnya sikap preventif
terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak hanya pemerintah
melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang kami sebut hubungan agama
dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju jika masalah
agama di bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi
antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga bubungan suci dan sarral ini,
tidak dicampuri urusan dunia yang kotor. Apakah sikap mereka bisa digolongkan
liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal”
dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan agama dan
Indonesia akan masih menjadi masalah. Menurutnya ada anggapan umum bahwa
seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga Negara
Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi pemuka bangsa yang sejati
seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan) batas-batas
keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti
Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.
B. Pembahasan
1.
Mengapa Manusia
Perlu Beragama?
Seandainya manusia tidak beragama, apa
yang akan terjadi? Tanpa agama, apakah manusia dapat mengetahui norma-norma
universal? Tanpa agama, dapatkah manusia mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan kehidupan di alam supra natural?
Menurut kodratnya, manusia dalam
hidupnya selalu mengakui adanya kekuatan yang maha dahsyat di luar dirinya.
Manusia selalu merasa merasa bahwa di luar dirinya terdapat suatu kekuatan yang
tidak mungkin ditandingi oleh kekuatan manusia dan alam sekitarnya. Pengakuan
seperti ini, biasa disebut dengan beragama.
Manusia beragama karena mereka
memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk
kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat. Dengan agama, manusia juga bisa
mendapatkan nilai-nilai moral yang universal, dan hal-hal yang tidak dapat
dicapai dengan akalnya semata.
2.
Mengapa Manusia
Perlu Bernegara?
Bayangkan, bila suatu kelompok
masyarakat tidak mempunyai negara, apa yang akan terjadi? Bagaimana bila tidak
ada wilayah, tidak ada pemerintahan, tidak ada kepala negara? Apakah dalam
kondisi seperti itu, masyarakat tadi dapat hidup dengan teratur? Dapatkah
mereka menjalankan aturan bersama? Dapatkah mereka melakukan aktivitas hidup
dengan tertib?
Pada mulanya, manusia hidup
sendiri-sendiri. Selanjutnya, karena tidak dapat memenuhi semua kebutuhan
hidupnya, manusia memerlukan teman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu. Oleh
karena itu, mereka kemudian bergabung dengan manusia-manusia yang lain. Karena
jumlah mereka semakin banyak, maka diperlukan pemimpin dan aturan-aturan yang
disepakati.
Mereka selanjutnya juga memerlukan
fasilitas-fasilitas untuk memudahkan jalanya kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, mereka membuat aturan-aturan untuk mereka sepakati bersama dalam
kehidupan.
Dalam perkembangan selanjutnya,
masyarakat memerlukan seseorang untuk disegani, yang mempunyai otoritas untuk
melakukan tindakan tertentu bila terjadi sesuatu atas mereka. Orang seperti ini
diperlukan sebagai penengah bila terjadikonflik diantara mereka. Dia pula
selanjutnya yang menjadi pemisah sekaligus hakim dalam persoalan-persoalan yang
menyangkut orang banyak. Orang yang berwatak seperti inilah yang kemudian
mereka angkat menjadi pemimpin atau raja atau kepala negera.
3.
Agama Dan
Negara
Agama dan
Negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang
terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara
merupakan bagian dari dogma agama. Pada hakikatnya, negara sendiri secara umum
diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagii penjelmaan sifat
kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu,
sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula sehingga
negara sebagai menifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan
manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian,
negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah
pendiri negara itu sendiri (Kaelani, 1999:91-93)
4.
Relasi Agama Dan
Negara
Membincang Agama dan Negara adalah sebuah
pembicaraan yang cenderung mengarah pada ruang lingkup membangun persepsi. Ini
bisa kita lihat bagaimana penafsiran agama dan negara cenderung pada porsi
bagaimana negara dan bagaimana agama menjadi menarik untuk diketengahkan
sebagai dua perbedaan. Saya melihat selama ini orang mendefinisikannya baik
peran dan fungsi hubungan antara agama dan negara cenderung melihat pada sisi
politis. Karena itu berbagai kepentingan sosial-politik sangat mewarnai
penggambaran konflik kepentingan antara yang menghendaki agama sebagai dasar
negara dengan kalangan politik modern yang menolaknya.
Tapi bukan bagimana kita mempermasalahkan apakah
mungkin antara agama dapat berdampingan sesuai dengan apa yang kita bangun dan
persepsikan; adil, sejahtera dan berujung pada perdamaian. Maka menjadi sesuatu
yang krusial bila kita lihat sebab dan akibat dari konflik yang ada baik itu
mempertahankan bangunan keyakinan beragama dan bernegara. Bahkan acapkali darah
menjadi hiasannya.
Hakikat Agama adalah realitas yang selalu
melingkupi manusia. Muncul dari berbagai dimensi sejarah kehidupan. Karena itu
tidak muda mendefinisikannya. Dapat dipastikan akan selalu diwarnai oleh latar
belakang pemikiran yang digelutinya. Termasuk spesifikasi para ahli dalam ranah
paradigma kajian yang mengkhususkan pada agama tertentu.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa
sansekerta yang tersusun dari kata ´a´ yang berati tidak dan ‘gam’ yang berati
pergi. Dalam bentuk harfiah yang terpadu kata agama berati tidak pergi, tetap
ditempat, langgeng abadi yang diwariskan terus menerus dari satu generasi
kepada generasi lainnya. Secara umum kata agama berarti tidak kacau yang secara
analitis kritis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata: ‘a´ berati
tidak dan ‘gama´ berarti kacau. Jadi kehidupan orang yang memeluk agama atau
beragama akan mengamalkan ajaran-ajaranya dengan sungguh sungguh tidak akan
mengalami kekacauan atau split personality. Bahkan kalau kita rujuk dari
berbagai referensi agama bisa menjadi definisi yang multi interpretasi.
Termasuk disetiap daerah dan pemeluknya cenderung
terikat pada khasanah maritimnya. Sehingga kita tidak terjebak pada ranah
penafsiran linier. Bahkan agama menut bahasa arab mempunyai banyak arti sesuai
dengan konteksnya, secara terminologis memiliki arti berbeda-beda bahkan setiap
ahli mengemukakan sesuai fokus keilmuannya. Tapi dari beberapa konsepsi yang
ada saya melihat agama merupakan satu syistem credo (tata keimanan atau
keyakinan) atas sesuatu yang mutlak diluar manusia. Agama juga sistem ritus
manusia kepada yang dianggapnya mutlak. Juga sistem norma yang mengatur
hubungan antara manusia dan sesama manusia, serta hubungan antara manusia dan
alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan
yang dimaksud.
Hakikat negara menjadi suatu hal yang penting ketika kita hidup dalam
wilayah kekuasaan. Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang
kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur
oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Bahkan negara merupakan
pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut,
dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain
keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu
berada. Yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh
warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah
tempat negara itu berada. Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum,
adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau
cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut
sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita
bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum
tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara
dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Para sosiologi teoetisi politik Islam
merumuskan beberapa teori tentang hubungan Agama dan Negara. Teori tersebut
secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran :
a. Paradigma
Intergralistik
Dalam paradigma intergralistik, agama
dan negara menyatu (intergreted). Wilayah agama meliputi politik atau negara.
Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut
paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan
politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan
Illahi" (divine soveregnty), karena pendukung paradigma ini menyakini
bahwa kedaulatan berasal dan berada di Tangan Tuhan.
b. Paradigma
Simbiotik
Agama dan negara, menurut paradigma
ini, berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal
balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena
dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan
agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan
moral-spiritual.
c. Paradigma
Sekularistik
Paradigma
sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan
negara atas agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara
kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu
dari negara.
Menurut al-Ashmawy, pemisahan politik
dari agama adalah hal yang penting. Politik harus dipraktikkan tanpa campur
tangan agama. Terlebih lagi hubungan yang layak antara individu dengan negara
adalah hubungan kewarganegaraan, bukan hubungan keagamaan.
Menurut Abdur Rahman Wahid (Gus Dur)
ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara, yaitu
responsi integratif, responsi fakultatif dan responsi konfrontatif. Dalam
responsi integratif, Islam sama sekali menghilangkan kedudukan formalnya dan
sama sekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan kenegaraan. Sedangkan
responsi fakultatif, jika kekuatan mereka cukup besar di parlemen, kaum muslimin
atau gerakan Islam, akan berusaha membuat peraturan perundang-undangan yang
sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan responsi konfrontatif adalah sejak awal
menolak kehadiran hal-hal yang dianggap "tidak Islami".
5.
Meredefinisi
Hubungan Agama Dan Negara
Seperti diketahui, dinamika hubungan
agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban
umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara
keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik
ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di
bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca
abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah
lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk
hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori,
kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan
negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk
urusan pribadi, negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan
sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola
hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan
kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat
agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan
agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya
merupakan “wisdom” yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang
hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau
Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat
bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. “Kebaikan bukan soal
Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (QS: Al Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme
ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan
yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang
datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri
selama berabad-abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai
sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu,
kelompok yang menerima ber-argumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun
terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik
(negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme
adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam
kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah
privat, negara untuk wilayah publik.
6.
Hubungan Islam Dan Negara Di Indonesia
Masalah hubungan islam dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang
menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indonesia merupakan negara yang
mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan
yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan negara di Indonesia, secara umum dapat
digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistic dan hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan antagonistic merupakan sifat hubungan
yang mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan islam sebagai sebuah
agama. Sedangkan paham akomodatif,
lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain
saling mengisi bahkan ada kecendrungan memiliki kesamaan untuk mengurangi
konflik (M. Imam Aziz et.al, 1993: 105). Abdul Aziz Thaba menambahkan agama dan
negara yang bersifat respirokal-kritis,
yakni awal dimulainya penurunan “tensi” ketegangan antara agama dan negara.
7.
Hubungan Agama Dan
Negara Yang Bersifat Antagonistik
Eksitensi Islam politik (political islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca
revolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis
kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan
negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak
ideologis politik islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja
para pemimpin dan aktivis politik islam gagal untuk menjadikan islam sebagai
ideology atau agama negara (pada 1945 dan decade 1950-an), tetapi mereka juga
sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider”.
Lebih dari itu, bahkan politik islam sering dicurigai sebagai anti ideology
negara pancasila (Bahtiar Effendy, 2001: 4).
Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar
dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecendrngan legalistik,
formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam
pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. Antara lain karena
alasan-alasan seperti ini, negara memberlakukan kebijakan the politics of containment agar wacana politik Islam yang
formalistik, legalistik dan simbolistik itu tidak berkembang lebih lanjut.
Setelah pemerintahan Orde Baru memantapkan kekuasaanya,
terjadi kontrol yang berlebihan yang diterapkan oleh Orde Baru terhadap
kekuatan politik Islam, terutama pada kelompok radikal yang dikhawatirkan
semakin militan dan menandingi eksistensi negara.
Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa
hubungan agama dengan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik,dimana negara betul-betul mencurigai islam sebagai
kwkuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat
Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah
yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideology dalam menjalankan
pemerintah.
8. Hubungan Agama Dan Negara Yang Bersifat Akomodatif
Gejala menurunya ketegangan antara islam dan negara mulai
terlihat pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin
besarnya peluang umat islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta
munculnya kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang bersifat
struktual, legislative, infrastruktual dan cultural (Bahtiar Effendy, 2001:
35).
Kecendrungan akomodasi negara terhadap islam juga-
menurut Affan Gaffar- ditengari dengan adanya kebijakan pemerintah dalam
politik umat islam sendiri (M. Imam Aziz et.el, 1993: 105). Pemerintah
menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, yang oleh
karnanya negara lebih memilih akomodasi terhadap islam, karena jika negara
menepatkan islam sebagai outsider
negara, maka konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas
terhadap proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Thaba,
munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh adanya
kecendrungan bahwa umat islam Indonesia dinilai telah semakin memahami
kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas
tunggal pancasila. Selain itu, munculnya kebijakan negara terhadap islam juga
menjadi bagian yang penting dalam memahami hubungan agama dan negara di masa
awal 1980-an, misalnya pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU
Peradilan Agama, munculnya ICMI serta munculnya Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila yang secara massif membangun ratusan masjid di hampir seluruh
Indonesia.
9.
Hubungan Islam Dan Negara Pada Era Reformasi
Reformasi yang terjadi pada pertengahan
tahun 1998 menyebabkan perubahan drastis dalam bernagai aspek kehidupan
politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang menonjol dibidang
politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan bubarnya
sistem bureaucratic polity pemerintah dipegang segelintir orang berubah
menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Perubahan birokrasi ternyata berdampak
terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua aspek kehidupan bernegara termasuk
kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di saat orde baru berkuasa,
kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika belaka.
Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian
yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal
semacam keluarga berencana.
Karena begitu ketatnya kontrol Negara
sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang terbukti saat reformasi. kontrol
tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa yang merasa terkekang
sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi massa (baik
politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi
berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh
umat Islam untuk memperjuangkan ajaran agamanya agar setidaknya menjadi sumber
hukum formal dalam kehidupan bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan
perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde baru pintu ini tertutup
rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan selanjutnya
adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam
hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam merupakan
mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika pemerintah selalu memperhatikan
kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi Islam.
Dengan kata lain, pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan programnya
harus lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul adalah bagaimana dengan
nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam posisi tidak aman. Mereka
belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok mayoritas yang berjanji
akan melindungi eksistensi mereka.
Selain dilihat dari sudut kuantitas
umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu sendiri yakni Al-Qu’ran
dan As-Sunah. Agama Islam tidal pernah membedakan persoalan individu dengan
persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang
saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah
ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang” sudah barang tentu
keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-Nya. Agar
kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Konsekuensinya seluruh
aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan
aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan
agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama. Lebih jauh maka
seluruh aktivitas muslim selalu diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada
dalam sumber pokok Islam, Al-Qu’ran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu pengimplementasian dalam
kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam bentuk Negara, mengapa harus negara?
Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus wilayah yang membawahi rakyat.
Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat bisa taat pada hukum
Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila hukum
tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan
bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial.
Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi segenap warganya untuk
merealisasikan cita-cita keadilan social.
C. Daftar Pustaka
1. Aziz, Imam M.,et,all (ed) Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama,
1993, cet.ke-1.
2. Ubaidillah, A.,et.all (ed) Demokrasi, Ham Dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003
3. Effendy, Bahtiar, Teologi
Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta:
Galang Press, 2001, cet.ke-1.
4. Kaelani, Pendidikan
Pancasila, Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 1999.