I. Pendahuluan
Islam merupakan agama Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW.
Dengan Al-qur’an sebagai pedomannya untuk mengarahkan kepada seluruh
umat manusia ke jalan yang sebenarnya yang di ridhoi oleh Allah SWT.
Islam
mengajarkan kehidupanyang dinamis dan progresif, menghargai akal
pikiran dalam pengenbangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap
seimbang dalam memenuhi
kebutuhan material dan spiritual, mengembangkan kepedulian social,
menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada
kualitas, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak
mulia, dan sikap-sikap positif lainnya.
Beberapa
alasan tersebut di ataslah yang mungkin menyebabkan orang-orang barat
tertarik untuk mempelajari islam, baik budaya, maupun ilmu
pengetahuannya. Sehingga kebudayaan islam di dunia berkembang menjadi
pesat.
II. Rumusan Masalah
a. Bagaimana studi islam di Indonesia ?
b. Bagaimana dinamika studi islam di Timur ?
c. Bagaimana studi islam di Barat ?
III. Pembahasan
A. Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia telah dimulai sejak masuknya
Islam ke Indonesia. Mengenai tentang dimulainya pendidikan islam di
Indonesia terdapat beberapa teori tentang ini. Pertama adalah “teori
India” yang berpendapat bahwa islam berasal dari India. Di antara
sarjana Belanda yang berpendapat bahwa kedatangan Islam barasal dari
India, adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, yang mengatakan bahwa
Islam di Nusantara berasal dari Gujarat dan Malabar.
Pendapat
berikutnya menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Arab. Teori
ini disebut dengan “teori Arab”. Teori ini juga didukung oleh sejumlah
sarjana di antaranya Crawfurd, Niemann, de Hollander, dan yang paling
gigih mempertahankannya adalah Naquib Al Attas. Berkenaan dengan “teori
Arab” ini di Indonesia sudah beberapa kali diadakan tentang seminar
masuknya Islam ke Indonesia. Seminar Medan tahun 1963 dan seminar Aceh
tahun 1978. Kedua seminar itu menyimpulkan bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama Hijriah dan langsung dari Arab.
Semua
teori itu masih dalam proses perkembangan dan bahkan tidak mustahil ada
teori lain yang muncul belakangan. Pembahasan tentang teori masuknya
Islam ke Indonesia dikemukakan hanya garis besarnya saja, tidak terinci
dan mendetail. Hal ini disebabkan karena fokus utama adalah tentang
pendidikan Islam yang telah dimulai sejak masuknya Islam ke Indonesia.
Karena pendidikan Islam itu telah dimulai sejak masuknya Islam ke
Indonesia, tidak boleh tidak mestilah disinggung tentang masuknya Islam
ke Indonesia. Hal ini bermakna bahwa apabila Islam itu telah masuk ke
Indonesia pada abad ke-8 M, berarti pendidikan Islam telah dimulai sejak
saat itu.
Kaitannya
dengan pendidikan Islam perlu dicari esensi tentang pendidikan.
Pendidikan adalah proses pembentukan manusia ke arah yang
dicita-citakan. Dengan demikian, pendidikan Islam itu adalah pembentukan
manusia sessuai dengan tuntutan Islam. Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh para mubaligh awal yang
datang ke Indonesia baik sebagai mubaligh semata maupun pedagang yang
berperan sebagai mubaligh adalah kegiatan yang terkait dengan kegiatan
pendidikan. Dengan demikian, pendidikan Islam di Indonesia telah
berlangsung sejak masuknya islam ke Indonesia, dan dengan demikian pula
pendidikan Islam telah memainkan peranannya dalam proses Islamisasi di
Indonesia.
Pada
tahap awal pendidikan Islam di Indonesia berlangsung secara informal.
Kontak-kontak person antara mubaligh dan masyarakat sekitar yang tidak
terancang terstruktural secara jelas dan tegas. Dalam hal ini tidak ada
jadwal waktu tertentu, tidak ada materi tertentu, dan tidak ada tempat
yang khusus. Pergaulan keseharian yang di dalamnya mengandung unsur
pendidikan, seperti keteladanan yang diberikan oleh para mubaligh
merupakan ketertarikan masyarakat sekitar untuk memeluk agama Islam.
Setelah pendidikan informal itu berlangsung, maka muncullah pendidikan
formal. Yaitu pendidikan yang terencana, punya waktu, tempat, dan materi
tertentu.[1]
Kajian
tentang pendidikan Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase.
Fase pertama sejak mulai tumbuhnya pendidikan Islam padda awal masuknya
Islam ke Indonesia sampai munculnya zaman pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia. Fase kedua sejak masuknya ide-ide pembaruan pendidikan Islam
di Indonesia, dan fase ketiga sejak disahkannya Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU No.2 tahun 1989 dan dilanjutkan dengan UU No.20
tahun 2003).[2]
Pendidikan
memiliki nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa.
Pendidikan itu juga berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa
tersebut. Sebab lewat pendidikan akan diwariskan nilai-nilai luhur yang
dimiliki oleh bangsa tersebut, karena itu pendidikan tidak hanya
berfungsi untuk how to know, dan how to do, tetapi yang amat terpenting
adalah how to be, bagaimana supaya how to be terwujud, maka diperlukan
transfer budaya dan kultur.[3]
Berdasarkan kedudukan Islam di Indonesia, ada kajian historis seperti yang diungkapkan terdahulu bahwa pendidikan Islam di Indonesia, telah berlangsung sejak masuknnya
Islam ke Indonesia.Pendidikan itu pada tahap awal terlaksana atas
adanya kontak antara pedagang atau mubaligh dengan masyarakat sekitar,
bentuknya lebih mengarah kepada kependidikan informal.Setelah berdiri
kerajaan-kerajaan Islam tersebut berada di bawah tanggung jawab kerajaan
Islam.
Masuknya
kaum penjajah Barat, memisahkan pendidikan Islam, dengan pendidikan
Barat. Pendidikan Barat berada pada alur dan jalur binaan pemerintah
dengan fasilitas yang memadai, sedangkan pendidikan Islam terlepas dari
tanggung jawab pemerintah kolonial. Kenyataannya membuat ada duagenerasi
yang berbeda orientasinya. Pertama, pendidikan Islam yang ketika itu
dilaksanakan di pesantren orientasinya keakhiratan, kedua, pendidikan
Barat yang orientasinya adalah keduniaan.
Sebetulnya
perbedaan yang mencolok bukan hanya terletak kepada perbedaan kedua
orientasi itu, tetapi lebih dari itu pemerintah kolonial Belanda tidak
menempatkan pendidikan Islam sebagai bagian dari perhatian mereka. Tidak
memasukkan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan kolonial Belanda,
bukan hanya itu bahkan pendidikan agama pun tidak diberikan di
sekolah-sekolah pemerintah.
Setelah
Indonesia merdek, BPKNIP (Badan Persiapan Komite Nasional Indonesia
Pusat) mengusulkan kepada pemerintah agar memasukkan mata pelajaran
pendidikan agama ke sekolah-sekolah. Selain dari itu badan ini juga
mengusulkan agar madrash dan pesantren supaya mendapat perhatian dan
bantuan nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan material dari
pemerintah.
Pendidikan
Islam dalam uraian ini dapat dikemukakan pengertiannya dalam tiga hal.
Pertama, sebagai lembaga, kedua, sebagai mata pelajaran, dan ketiga,
sebagai value.[4]
peranan
kerajaan-kerajaan Islam dalam mendorong berkembangnya pemikiran Islam
dapat diambil contohnya kerajaan Islam di Sumatera, yaitu Aceh dan
kerajaan Islam di Jawa yaitu Mataram.
Peraanan
kerajaan Islam di Aceh dalam bidang pendidikan dapat dilihat dalam
tulisan Hasjmy “Kebudayaan Aceh dalam sejarah”. Beliau mengemukakan
diantara lembaga-lembaga Negara yang tersebar dalam Qanun meukuta Alam
ada tiga lembaga yang bidsng tugaasnya meliputi masalah pendidikan dan
ilmu pengetahuan, yaitu:
Balai ini tempat berkumpulnya para sarjana, hukama (ahli piker) untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Balai Setia Ulama
Balai ini dapat disamakan dengan jawatan pendidikan yang membahas masalah pendidikan.
3. Balai Jamaah Himpunan Ulama
Balai
ini dapat disamakan dengan sebuah studi klub tempat para ulama/sarjana
berkumpul untuk bertukar pikiranmembahas masalah pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
Kerajaan
Islam lainnya yang juga menaruh perhatian terhadap pendidikan Islam,
adalah Mataram. Dalam bidang kebudayaan upaya yang dilakukan oleh Sultan
Agung adalah mensenyawakan unsure-unsur budayanlama dengan islam,
seperti:
1. Gerebeg, disesuaikan dengan hari raya idul fitri dan maulid nabi. Terkenal ada gerebeg poso (puasa) dan gerebeg maulid.
2. Gamelan Sekaten, yang hanya dibunyikan pada gerebeg mauled, atas kehendak Sultan Agung dipukul di halaman masjid besar.
3. Perhitungan
tahun saka (Hindu) pada mulanya berdasarkan perjalanan matahari, tahun
saka yang telah kerangka 1555saka,tidak lagi ditambah berdasarkan
perhitungan matahari, melainkan dengan hitungan perjalanan bulan, sesuai
dengan tahun hijriah.
C. LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM AWAL DI INDONESIA.
Ada beberapa lembaga pendidikan Islam awal yang muncul di Indonesia.
1. Masjid dan Langgar
Masjid
fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat. Selain dari fungsi utama
masjid dan langgar difungsikan untuk tempat pendidikan.
2. Pesantren
Inti
dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama.
Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama.
3. Meunasah, Rangkang, dan Dayah
Meunasah
berasal dari kata madrasah, tempat belajar atau sekolah. Rangkang
adalah tempat tinggal murid, yang di bangun di sekitar masjid. Dayah
adalah sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran agama
yang bersumber dari bahasa Arab, tauhid, tasawuf, dan llain-lain,
tingkat pendidikannya sama dengan SLTA.
4. Surau
Surau diartikan tempat umat islam melakukan ibadahnya (bersembayang, mengaji, dan sebagainya).[5]
Pendidikan Islam Pada Zaman Penjajahan Jepang
Kehadiran
jepang ke Indonesia terhitung amat singkat, yakni hanya 3,5 tahun.
Namun waktu yang singkat ini tidak berarti bahwa jepang tidak member
pengruh terhadap perkembangan pendidikan Islam. Lamanya waktu,
sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia, tidak menjadi
jaminan bangsa Belanda telah berbuat banyak terhadap pendidikan Islam.
Sebaliknya jepang yang berada di Indonesia dalam waktu singkat telah
memberikan pengaruh pendidikan Islam sebagai berikut.
Pertama,
umat Islam merasa lebih leluasa dalam mengembanhkan pendidikannya,
karena berbagai undang-undang dan peraturan yang dibuat pemerintah
Belanda yang sangat deskriminatif dan sangat membatasi itu sudah
tidak diberlakukan lagi. Umat Islam pada zaman kolonial Jepang
pemperoleh peluang yang memungkinkan dapat berkiprah lebih luluasa dalam
bidang pendidikan.
Kedua, bahwa sistem
pendidikan Islam yang terdapat pada zaman Jepang pada dasarnya masih
sama dengan system pendidikan Islam pada zaman Belanda, yakni disamping
sistem pendidikan pesantren yang didirikan kaum ulama tradisional, juga
terdapat system pendidikan klasikal sebagai mana yang terlihat pada
madrasah, yaitu system pendidikan Belanda yang muatannya terdapat
pelajaran agama.[6]
Pendidikan Islam Pada Zaman Orde Lama
Keadaan
pendidikan iIslam pada zaman orde lama belum mendapatkan perhatian yang
sungguh-sumgguh dari pemerintah. Adanya perlawanan ideologis politis
dari sebagian elite Islam sebagai mana tersebut diatas telah menimbulkan
kecurigaan dan rasa tidak suka pada pemerintah terhadap umat Islam.
Namun demikian, adanya sebagian elite muslim yang berpandangan
progresif,, modern, dan nasionalis, terutama kaum muslim yang telah
tersentuh oleh pendidikan dan pengalaman dunia modern, misalnya tokoh
dan intelektual muslim yang mendapatkan pendidikan dari negara maju
telah mampu melakukan komunikasi yang baik dengan pemerintah. Dengan
duduknya elite muslim yang progresif dan sejalan dengan visi, misi, dan
tujuan pemerintah menyebabkan adapula usaha-usaha yang dilakukan
pemerintah orde lama terhadap kepentingan pendidikan Islam, dengan
penjelasan sebagai berikut.
Pertama,
dengan mendirikan Departemen Agama. Penbinaan pendidikan agama setelah
kemerdekaan Indonesia dilakukan secara formal institusional. Urusan
keagamaan dan pendidikan agama yang sebelum kemerdekaan ditangani oleh
kantor agama yang pada masa penjajahan Belanda bernama resmi kantor voor
Inlandshe Zaken, dan pada pada masa penjajahan Jepang bernama
“shumuka”, setelah Indonesia merdeka berubah nama menjadi Kementrian
Agama dan diresmmikan pada 3 Januari 1946. Kementrian Agama ini juga
mengurusi bidang pendidikan yang berhubungan dengan agama.
Kedua,
dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan berupa peraturan dan
perundang-undangan yang ada hubungannya dengan pendidikan agama. Dalam
hal ini, pemerintah orde lama mengelurakan undang-undang nomor 12 tahun
1950 yang didalamnya mengatur pendidikan agama di sekolah negeri baik
yang ada di Kementrian Agama, maupun Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. Pada Bab XII pasal 20 undang-undang ini misalnya dinyatakan
bahwa dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua
murid menetapkan apakah akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
Selain itu, dijelaskan pula tentang cara menyelenggarakan pengajara
agama di sekolah negeri yang diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama.
Ketiga,
memberikan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan lembaga
pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren. Karena pesantren dan madrasah
memberikan pendidikan agama, maka pesantren dan madrasah diserahkan
pembinaan dan pengembangannya kepada Departemen Agama. Berkaitan dengan
tugas dan tanggung jawab ini, maka Departmen Agama menetapkan beberapa
kebijakan sebagai berikut: (1) member pelajaran agama di sekolah negeri
dan partikulir; (2) member pengetahuan umum di madrasah; dan (3)
mendirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim
Islam Negeri (PHIN). Kebijakan Departemen Agama ini dimanfaatkan oleh masyarakat Muslim Indonesia untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Keempat,
dengan memberikan bantuan fasilitas dan sumbangan material kepada
lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti mengangkatguru agama, membantu
biaya pembangunan madrasah, bantuan buku-buku pelajaran, me-negeri-kan
madrasah, dan bantuan lainnya, walaupun jumlahnya masih amatterbatas
sesuai dengan kemampuan ekonomi pada waktu itu.[7]
Pendidikan Islam Pada Zaman Orde Baru
Faktor-faktor
pendukung kemajuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut. Pertama,
semakin membaiknya hubungan dan kerja sama antara umat Islam dan
pemerintah. Kedua, semakin membaiknya ekonomi nasional. Pada zaman
Pemerintah orde baru, usaha pembangunan ekonomi menjadi primadona dan
pilihan utama. Ketiga, semakin stabil dan amannya pemerintahan. Pada
zaman orde baru, Indonesia dikenal sebagai Negara yang aman dan stabil di kawasan Asia Tenggara.[8]
Pendidikan Islam Pada Era Reformasi
Keadaan
pendidikan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama,
kebijakan tentang pemantapan pendidikan Islam sebagai bagian dari system
pendidikan nasional. Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran
pendidikan Islam. Ketiga, program wajib Sembilan tahun. Keempat,
penyelenggaraan sekolah bertaraf nasional (SBN), internasional (SBI).
Kelima, kebijakan sertifikasi guru dan dosen bagi semua guru dan dosen
baik negeri maupun swasta, baik guru umum maupun guru agama, baik guru
yang berada dibawah Kementerian Pendidikan Nasional maupun guru yang
berada di Kementerian Agama. Keenam, pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK/tahun 2004) dan Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP/2006). Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak
hanya berpusat pada guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching,
melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan
learning (belajar) dan research (meneliti) dalam suasana yang
partisifatif, inofatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
(paikem). Kedelapan, penerapan menejemen yang berorientasi pada
pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan kepada para pelanggan (to
give good service and satisfaction for all custumers) sebagai mana yang
terdapat pada konsep Total Quality Menejement (TQM). Kesembilan,
kebijakan mengubah nomenklatur dan sifat madrasah menjadi sekolah umum
yang berciri khas keagamaan.[9]
B. Studi Islam Di Barat
Perkembangan
studi Islam di dunia terutama di barat terjadi karena adanya kontak
dengan dunia muslim, salah satunya yakni lewat kontak perguruan tinggi.
Selain itu juga dengan adanya penyalinan karya-karya ilmiah dari
manuskrip-manuskrip Arab kedalam bahasa Latin. Berkat penyalinan
karya-karya manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi
perkembangan cabang-cabang ilmiah di Barat. Dan masih banyak faktor lain
yang mendukung perkembangan studi Islam ke dunia Barat. http://nalar-langit.blogspot.co.id/
Pembahasan tentang bagaimana studi Islam di Negara non-Muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
1. berdasarkan dosen yang mengajarkan studi Islam
2. berdasarkan perguruan tinggi, dan
3. berdasarkan pusat studi.
Berdasarkan
dosen yang mengajar studi Islam di Barat, ada tenaga pengajar yang
menganut agama Islam (muslim), dan tenaga pengajar non-Muslim. Mereka
non-Muslim ini lebih dikenal dengan sebutan orientalist, dari kata
orient yang berarti timur, dan list berarti ahli. Maka secara bahasa
orientalist adalah ahli ketimuran. Maksud timur di sini adalah Islam.
Maka ringkasnya, orientalist adalah ahli keislaman. Para orientalist ini
disebut sebagai orang yang mengetahui Islam secara kognitif atau
aqliyah (understanding), tidak pernah sampai pada tingkat efektif atau
qalbiyah (merasakan), apalagi pada tingkat phsikomotorik atau
fi’liyah/’amaliyah. http://nalar-langit.blogspot.co.id/
Sebelum
muslim memasuki universitas-universitas di Barat, dan belum ada muslim
yang dalam bahasa Inggris dan beberapa bahasa Eropa, ahli Islam di Barat
didominasi para orientalis. Maka buku-buku dan artikel-artikel tentang
pemikiran-pemikiran dibidang Islam pun didominasi dan merupakan hasil
pemikiran para orientalis. Seiring dengan adanya sarjana muslim yang
sekolah di Barat dan menulis dengan bahasa Barat tentang Islam, maka
alhi keIslaman pun muncul dari sejumlah muslim. Pada akhirnya banyak
diantara sarjana Muslim ini yang dalam bahasa Barat (Inggris, Perancis,
Jerman, Yunani, Belanda, dan bahasa barat lain).[10]
Adapun
dari sisi kelembagaan/institusi, studi Islam di negara-negara
non-Muslim tidak selalu dengan nama Islamic Studies, tetapi dengan
berbagai nama, semisal Middle East Studies, Near Eastern Studies,
Religious Studies, Comparative Religion dan lain-lain. Di samping itu
ada juga beberapa lembaga (pusat studi/center), baik yang berafiliasi
dengan universitas maupun tidak, yang menawarkan dan menyediakan studi
Islam. Diantaranya:
a. Islamic Society of North America
b. The Oxford Centre for Islamic Studies, Inggris
c. Centre for Islamic Law and Society di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia.[11]
Selanjutnya
pembahasan tentang sejarah dan dinamika perkembangan studi Islam di
negeri Barat yang dilakukan oleh para mahasiswa Indonesia beserta
beberapa tokoh yang memiliki peran penting. Studi Islam dikembangkan di
negara-negara Barat, dan juga di Timur Tengah, memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Justru karena nilai lebih dan kekurangannya
inilah, hal yang paling penting adalah bagaimana persoalan ini tidak
dipertentangkan secara dikotomis. Aspek lebih produktif yang justru
penting untuk dikembangkan adalah bagaimana masing-masing lulusannya
saling melengkapi satu sama lain. Dengan mengedepankan persamaan dan
saling melengkapi satu sama lain, kombinasi keilmuan yang dihasilkan
dari lulusan Barat dan Timur Tengah tentu akan lebih baik dan
menjanjikan dari pada saling menjelekkan dan mencari kelemahan
masing-masing.
Ditinjau
dari perspektif sejarah, studi yang dilakukan orang Indonesia di Barat
sudah cukup lama. Namun demikian, fokus studi yang dilakukan belum
menyentuh secara langsung dalam bidang kajian Islam. Studi di Barat pada
masa itu lebih dilatar belakangi oleh kepentingan politis kepentingan
pemerintahan Belanda. Dengan studi di negara Belanda, mereka diharapkan
akan menjadi pengikut setia Belanda, dan mengembangkan rasa kesetiaannya
ini kepada masyarakat patronnya. Sebab, kemajuan pendidikan yang mereka
peroleh merupakan bentuk kebaikan yang diberikan oleh pemerintah
Belanda, sehingga mereka tidak akan menghianati pemerintahan yang tekah
membiayai, lalu mengangkatnya sebagai pegawai pemerintahan. Sebagai
contoh Raden Mas Ismangoen Danoewinoto, mahasiswa Indonesia pertama yang
melakukan studi di Barat, yaitu di Leiden Belanda.
Seiring
dengan perkembangan zaman, studi ke negara-negara Barat terus
berkembang. Studi yang dilakukan oleh orang Indonesia mengambil
konsentrasi bidang ekonomi, politik, pemerintahan dan belum ada yang
mengambil fokus khusus studi Islam. Fokus studi Islam baru mulai
dilakukan setelah Indonesia merdeka. Orang Indonesia yang pertama kali
yang melakukan studi Islam di Barat adalah M.Rasjidi. menteri Agama pertama Indonesia ini menamatkan program doktor di Universitas Sorbone Prancis.
Tokoh
penting lain yang menjadi generasi awal yang melakukan studi Islam di
Barat pasca Rasjidi adalah Harun Nasution. Harun menempuh pendidikan
tingginya di Kairo dan di Kanada. Jadi perpaduan antara Timur Tengah dan
Barat. Tokoh lain yang memiliki peranan penting dalam studi Islam di
Barat adalah A.Mukti Ali. Dalam perjalanan intelektualnya, A.Mukti Ali
pernah belajar di Pakistan.dan melanjutkan di McGill University,
Montreal, Kanada dengan beasiswa dari Foundation.[12]
Tiga
tokoh diatas, yaitu Rajidi, Harun Nasution, dan Mukti Ali, adalah
generasi awal sarjana Islam Indonesia yang melakukan studi Islam di
Barat. Setelah generasi mereka, muncul puluhan intelektual yang juga
menempuh studi Islam di Barat.beberapa dianteranya adalah Nurcholish
Madjid, M. Dien Syamsuddin, Thoha Hamim, Akh. Minhaji, dan sebagainya.
Para alumni Barat ini mempunya pengaruh dan kontribusi besar dalam studi
Islam di Indonesia.
Selain
orang-orang Indonesia yang melakukan studi Islam di berbagai
Universitas di Barat, aspek penting yang memerlukan perhatian lebih
adalah deskripsi studi Islam di negara-negara Barat. Di negara-negara
Barat, studi Islam berkembang dengan bervariasi. Misalnya di Chicago
University, studi Islam lebih menekankan pada pemikiran Islam, bahasa
Arab, naskah klasik dan bahasa-bahasa Islam non-Arab.[13]
Sebenarnya,
kajian Islam yang dilakukan di Barat sudah berlangsung cukup lama. Jika
mencermati pada dinamika dan perkembangan yang terjadi, studi Islam di
Barat semenjak abad ke-19 hingga sekarang ditandai oleh tiga model
pendekatan.
1. Studi
Islam dengan pendekatan fisiologis. Pendekatan ini biasa dipergunakan
oleh para orientalis generasi awal abad ke-19 dan masih tetap memiliki
pengaruh yang kuat diawal abad ke-20. Disini yang mengkaji Islam lebih
banyak berasal dari kalangan pakar bahasa dan pakar-pakar ahli klasik.
Nilai lebih dari kajian seperti ini adalah keberhasilannya untuk
membongkar khazanah pemikiran Islam klasik yang berserakan. Namun
pendekatan ini juga memiliki kelemahan, yakni mendapatkan Islam hanya
terbatas pada informasi teks saja, sementara sisi-sisi lain Islamyang
sesungguhnya jauh lebih luas dan kaya tidak dapat diketahui.
2. Studi
Islam dengan pendekatan ilmiah, pendekatan ini berkembang setelah
Perang Dunia kedua. Mereka yang menjadi pelopor adalah dari kalangan
ilmuwan sosial. Kalangan ini melihat Islam sebagai masyarakat sistemik
sebagaimana masyarakat barat, sehingga kekhasan dan keunikannya yang
bersifat kultural tidak tampak oleh mereka.
3.
Islam dengan pendekatan fenomenologi-interpretatif .Belajar dari
kelemahan pendekatan sebelumnya, penganjur pendekatan ini memahami
Islam,khususnya masyarakat Islam, sebagai sistem simbol yang sarat
dengan makna-makna sebagaimana yang dikehendaki oleh dirinya sendiri,
bukan dari persepsi orang barat atas diri mereka.
Munculnya
pandangan yang kurang suka, kritis, atau bahkan sinis terhadap fenomena
studi Islam di Barat, dan banyaknya mahasiswa Indonesia yang studi di
pusat-pusat kajian Islam di Barat, sebagian dilatari oleh kecurigaan,
dan juga kekhawatiran terhadap berbagai dampak negatif yang muncul
terhadap umat Islam. Adapun aspek yang dikritik adalah :
Pertama,
kajian-kajian tentang islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat
“esensialis”, yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan
kebudayaan muslim dalam kerangka tunggal dan tidak berubah. Kedua,
kajian – kajian islam di barat dimotivasi oleh kepentingan – kepentingan
politis. Dan ketiga, kajian – kajian islam di barat merupakan upaya
untuk melestarikan “kebenaran – kebenaran” yang dicapai atas nama
kehidupan intelektual dan akademis, Padahal, hampir tidak mempunyai
kaitan dengan kenyataan yang hidup.
Namun demikian studi Islam
yang dilakukan di Barat juga memiliki berbagai kelebihan.Sebagaimana
yamng dituturkan Yudian W asmin, di Barat, mahasiswa menjadi pusat
pengembangan, sedangkan dosen hanya mengarahkan. Keseriusan ‘mengobrak
abrik’ pustaka merupakan lambang supremasi, yang tercermin dalam tulisan
mahasiswa yang memang dilatih untuk berpikir kritis, akurat, dan
bertanggung jawab. Kemampuan untuk menggali sumber – sumber di pustaka
ini dilengkapi dengan kemampuan empat bahasa: dua bahasa dunia Islam dan
dua bahasa Barat. Karena pendekatannya bersifat historis analitis, yang
memandang islam sebagai peradaban, bukan sebagai agama, maka hasil
penelitian seseorang dianggap relatif, bahkan al-riwayah bi al-lafdz
dianggap sebagai plagiat. Publikasi merupakan ukuran tinggi rendahnya pengetahuan seseorang.
Studi Islam di Barat memang sarat dengan dinamika. Ada nilai lebih,
dan juga kekurangannya. Sebagaimana studi dalam bidang apapun dan
dimanapun juga, tidak ada yang sempurna. Semuanya tetap membuka peluang
untuk terus menerus diperbaiki dari waktu ke waktu. Namun demikian,
harus diakui bahwa studi Islam di Indonesia, khususnya di PTAI, banyak
dipengaruhi oleh model dan paradigma yang dikembangkan oleh para alumni
Barat.[14]
C. STUDI ISLAM DI TIMUR
Studi
islam di timur, tidak jauh berbeda dengan yang ada di Negara Barat
yaitu bervariasi dan memiliki karakter masing-masing. Karena dipengaruhi
berbagai faktor, diantaranya faktor kebijakan politik, dinamika sosial
budaya, latar belakang pemegang kebijakan pendidikan perkembangan
ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
1. Teheran, Iran
Di
Universitas Teheran, Iran ada ruangan khusus yang menyimpan
naskah-naskah kuno yang ditulis dalam bahasa Persia oleh para pemikir
klasik. Marshal Hudgson mengatakan dalam bukunya, The Venture of Islam,
bahwa dalam pemikiran Islam, ada Islam, ada Islamicate, dan ada
Islamdom, yaitu kebudayaan Islam setelah berinteraksi dengan berbagai
budaya dari negeri-negeri yang kemudian disebut negeri-negeri muslim. Di
Universitas Teheran ini, studi islam dilakukan dalam satu fakultas yang
disebut Kulliyat Ilahiyat (Fakultas Agama). Di Teheran juga ada
universitas Islam Sadiq yang mempelajari Islam dan ilmu umum sekaligus.
2. Damaskus, Syria
Di
Universitas Damaskus Syria, yang memiliki banyak fakultas umum, studi
Islam ditampung dalam Kulliatu al-Syari’ah (Fakultas Syari’ah), yang
didalamnya ada program studi Ushuludin, Tasawuf, Tafsir, dll. Jadi,
pengertian syari’ah disitu lebih luas daripada pengertian syari’ah
sebagai hukum Islam, seperti yang ada di IAIN atau UIN.
3. India
Di
Aligarch Universitas India, studi islam dibagi dua. Pertama, Islam
sebagai doktrin dikaji dalam Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua
jurusan: jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Syi’ah. Kedua, Islam sebagai
sejarah dikaji pada Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies
yang berdiri sejajar dengan jurusan Politik, Sejarah, dll. Di Jamiah
Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program berada pada Fakultas
Humaniora, bersama dengan Arabic Studies, Persian Studies, dan Politik
Science. [15]
4. Nizhamiyah di Baghdad
Perguruan
tinggi Nizhamiyah di Baghdad ini berdiri pada tahun 445 H/1063 M. [3]
Perguruan tinggi ini dilengkapi dengan perpustakaan yang terpandang kaya
raya di baghdad, yakni Bait Al-Hikmah yang dibangun oleh Khalifah
Al-Makmun (813-833 M), salah seorang ulama besar yang pernah mengajar
di sana, adalah ahli pikir islam terbesar, Abu Hamid Al-Ghazali
(1058-1111 M), yang kemudian terkenal dengan sebutan Imam Ghazali.
Di
lembaga ini ada empat unsur pokok, yakni seorang mudarris (guru besar)
yang bertanggung jawab terhadap pengajaran di lembaga pendidikan, muqri’
(ahli Al-Qur’an) yang mengajar Al-Qur’an di masjid, muhaddis (ahli
hadis) yang mengajar hadis lembaga pendidikan, dan seorang pustakawan
(Bait Al-Maktub) yang bertanggung jawab terhadap perpustakaan, mengajar
bahasa dan hal-hal yang terkait.
Perguruan
tinggi tertua di Baghdad ini hanya sempat hidup hampir dua abad. Yang
akhirnya hancur akibat penyerbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan
Hulaghu Khan pada tahun 1258 M.
5. Cordova
Adapun
sejarah singkat Cordova dapat digambarkan demikian, bahwa di tangan
Daulat Ummayah, semenanjung Liberia yang berabad-abad sebelumnya
terpandang daerah minus, berubah bagaikan disulap menjadi daerah yang
makmur dan kaya raya akan pembangunan bendungan-bendungan irigasi di
sana sini menuruti contoh lembah Nil dan lembah Ephrate. Bahkan pada
masa berikutnya, Cordova menjadi pusat ilmu dan kebudayaan yang gilang
gemilang sepanjang zaman tengah. The Historians’ History of the World
menulis tentang peri keadaan pada masa pemerintahan Amir Abdurrahman I
(756-788 M) itu, sebagai berikut, demikian tulis buku sejarah terbesar
tersebut tentang perikeadaan Andalusia waktu itu, yang merupakan pusat
intelektual di eropa dan dikagumi kemakmurannya. Sejarah mencatat,
sebagai contoh, bahwa Aelhoud dari Bath (Inggris) belajar ke Cordova
pada tahun 1120 M, dan pelajaran yang dituntunnya adalah geometri,
algebra (aljabar), matematik. Gerard dari Cremona belajar di Toledo
seperti halnya Aelhoud ke Cordova.
6. Kairawan Nizam al-Muluk di Maroko
Perguruan
tinggi Kairwan ini berada di kota Fez (Afrika Barat). Perguruan tinggi
ini bermula dibangun pada tahun 859 M oleh puteri seorang saudagar
hartawan di kota Fez, yang berasal dari Kairawan (Tunisia). Pada tahun
305 H/918 M perguruan tinggi ini diserahkan kepada pemerintah dan sejak
saat itu menjadi perguruan tinggi resmi, yang perluasan dan
perkembangannya berada di bawah pengawasan dan pembiayaan negara.
Seperti
halnya perguruan tinggi Al-Azhar, perguruan tinggi Kairawan masih tetap
hidup isampai sekarang. Di antara sekian banyak alumninya adalah
pejuang nasionalis muslim terkenal, diantaranya adalah Allal Al-Fasi,
dan Mahdi Ben Barka, yang berhasil mencapai kemerdekaan Maroko dari
penjajahan Perancis sehabis perang Dunia kedua, lalu pejabat PM Maroko
di bawah Sultan Muhammad V. Sedangkan ilmuan termasyhur yang pernah
menjadi maha gurunya antara lain Ibnu Thufail (1106-1185 M) dan Ibnu
Rusyd (1126-1198 M), pada masa Daulat Almuwahhidin dari Eropa, maka nama
Avenbacer (Abu bakar Ibnu Thufail) dan Averroes (Ibnu Rusyd) dan
Avempas (Ibnu Bajah) dan Alhazem (Imnu Hazmi) dan lainnya, amat populer
dan harum di Eropa.
Sebagai
catatan, perguruan tinggi Al-Azhar (972 M) di Mesir, dan perguruan
tinggi Kairwan (859 M) di Maroko, adalah lebih tua dibandingkan dengan
perguruan tinggi Oxford (1163 M) dan perguruan tinggi Cambridge (1209 M)
di Inggris, dan perguruan tinggi Sorbonne (1253 M) di Perancis, perguruan tinggi Tubingen (1477 M) di Jerman, dan perguruan tinggi Edinburg (1582 M) di Skotlandia.
Penyebab
utama kemunduruan dunia muslim, khususnya di bidang ilmu pengetahuan
adalah terpecahnya kekuatan politik yang digoyang oleh tentara bayaran
Turki. Kemudian dalam kondisi demikian datang musuh dengan membawa
bendera perang salib. Akhirnya, Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan
ketika itu dihancurkan Hulaghu Khan tahun 1258 M. Pusat-pusat studi
termasuk yang dihancurkan Hulaghu Khan
7. Mesir
Panglima
besar Juhari Al-Siqili pada tahun 362 H/972 M membangun Perguruan
Tinggi Al-Azhar dengan kurikulum berdasarkan ajaran sekte Syiah. Pada
masa pemerintahan Khalifah Al-Hakim Biamrillah (966-1020), khalifah
keenam dari Daulat Fathimiyah, ia pun membangun perpustakaan terbesar di
Al-Qahirah untuk mendampingi Perguruan Tinggi Al-Azhar, yang diberi
nama Bait Al-Hikmah (Balai ilmu pengetahuan), seperti nama perpustakaan
terbesar di Baghdad.
Pada
tahun 567 H/1171 M Daulat Fathimiyah di tumbangkan oleh Sultan
Salahuddin Al-Ayyubi yang mendirikan Daulat Ayyubiyah (1171-1269 M) dan
menyatakan tunduk kembali kepada Daulat Abbasyiah di Baghdad. Kurikulum
pada perguruan tinggi Al-Azhar lantas mengalami perombakan total, dari
aliran Syi’ah kepada aliran
Sunni. Ternyata perguruan tinggi al-Azhar ini mampu hidup terus sampai
sekarang, yakni sejak abad ke-10 M sampai abad ke-20 M dan tampaknya akan tetap selama hidupnya.
Di Universitas Al-Azhar Mesir, yang imam bagi seluruh Universitas Islam dari segi metodologi mendekati
Islam, paling kurang pada awal-awalnya, studi islam telah berubah
bentuk pengorganisasiannya. Al-Azhar sampai tahun 1961 memiliki
fakultas-fakultas seperti yang dimiliki IAIN. Setelah
tahun 1961, Al-Azhar tidak lagi membatasi diri pada fakultas-fakultas
agama, tetapi juga membuka fakultas-fakultas lain Al-Azhar, disamping
ada di Kairo, juga ada di daerah-daerah dan mempunyai program khusus
untuk wanita dan laki-laki. Di Kairo sendiri ada beberapa fakultas,
yakni Fakultas Ushuluddin, Fakultas Hukum (Islamic Jurisprudence and
Law/ Kulliatu al-Syariah wa al-Hukm), Fakultas Bahasa Arab(Faculty of
Islamic and Arabic Studies/Kullayah al-Dirasah al-Islamiah) Fakultas
Dakwah, Fakultas Tarbiyah, Kulliah al-lughah wa al-Tarjamah (Fakultas
Bahasa dan Terjamah), Fakulty of Scince (Fakultas Sains), Fakultas
Kedokteran (Faculty of Medicine), Fakultas Pertanian, Ekonomi, Tehnik.
Pada fakultas sains terdapat jurusan-jurusan Kimia, Geologi,
Microbiologi, Anatomi, Astronomi, Fisika, dan Zoology. Sedangkan pada
Fakultas Peternakan terdapat jurusan Peternakan, Ekonomi Pertanian,
Industri, Makanan, Genetika, Pertanahan, Insektisida, Holtikultura, dan
Masyarakat Pedesaan.
Di
daerah-daerah seperti Al-Suyut ada fakultas Ushuluddin, Dakwah,
Syari’ah wa al-Huquq, Bahasa Arab, Kedokteran Umum, Kedokteran Gigi dan
Farmasi. Di Zarkasyi ada Fakultas Ushuluddin, Dakwah, dan Bahasa Arab.
Di Tanta ada Fakultas Ushuluddin, Dakwah, Bahasa Arab dan seterusnya.
Melihat
paparan ini dapat kita simpulkan bahwasanya studi Islam di Timur,
sebagaimana studi Islam di Barat dan berbagai negara lainnya, juga tidak
seragam. Ada karakteristik yang khas dari masing-masing negara, dan
juga perguruan tinggi. Hal ini menjadikan kekayaan warna dalam studi
Islam di masing-masing lembaga dan negara. Konstruksi semacam ini justru
akan semakin memperkaya warna studi Islam.[16]
IV. KESIMPULAN
Studi
islam di dunia baik Indonesia, Negara Barat, maupun Negara Timur
terdapat banyak perbedaan. Perbedaan tersebut dikarenakan proses awal
masuknya Agama Islam ke berbagai negara islam di dunia yang berbeda.
Studi islam di Indonesia terdapat fase-fase tersendiri. Di antaranya :
1. Mulai tumbuhnya Islam
2. Masuknya ide-ide pembaruan
3. Disahkannya UU sistem pendidikan
Di Indonesia juga terdapat beberapa masa yang mempengaruhi proses perkembangan studi Islam, di antaranya:
1. Masa penjajahan Jepang
2. Masa Orde Lama
3. Masa Orde Baru
Masa Reformasi Pembahasan tentang bagaimana studi Islam di Negara non-Muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
1. berdasarkan dosen yang mengajarkan studi Islam
2. berdasarkan perguruan tinggi, dan
3. berdasarkan pusat studi.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan studi Islam di Timur, antara lain:
kebijakan politik, dinamika sosial dan budaya dan latar belakang
pemegang kebijakan pendidikan perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor
lainnya.
V. PENUTUP
Demikian
makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dan
kesalahan baik dalam segi penyampaian maupun penyusunan makalah ini.
Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna
memperbaiki penyusunan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Naim, Ngainun, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta, Teras, 2009.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta, ACAdeMIA+TAZZAF, 2010.
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2011.
Putra Daulah, Haidar, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009.
Putra Daulah, Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2009.
[1] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 10-13.
[2] Ibid, hlm. 45
[3] Ibid, hlm. 47
[4] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 159-160.
[5] Ibid, hlm. 17-26.
[6] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 308-309.
[7] Ibid, hlm. 318-322.
[8] Ibid, hlm. 337-340.
[9] Ibid, hlm. 352-359.
[10] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010), hlm. 93-94.
[11] Ibid, hlm. 99.
[12] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 26-27
[13] Ibid, hlm. 31
[15] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 38-39