Belajar
selalu didenifisikan sebagai suatu perubahan pada diri individu yang disebabkan
oleh pengalaman yang dilalui oleh individu itu sendiri. Perubahan yang
disebabkan oleh perkembangan bukanlah contoh dari belajar sepertihalnya dengan
sifat-sifat pada individu yang ada sejak lahir. Pada dasarnya belajar dan
perkembangan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, contoh kecilnya
adalah belajar berjalan pada anak kecil merupakan sebagian besar karena
perkembangan, tetapi juga tergantung pada pengalaman dan aktivitas lain. Jadi
kesimpulannya, belajar terjadi dengan banyak cara baik belajar yang disengaja
maupun yang tidak disengaja.
Masalah
yang dihadapi guru sekarang ini adalah bagaimana supaya siswa mau belajar,
mengingat tanggung jawab seorang guru adalah membantu siswa belajar. Semua guru
menpunyai pandangan atau teori belajar, sehingga strategi mengajar mereka
sangatlah terstruktur. Kita percaya bahwa salah satu tujuan pendidikan guru
adalah membantu guru-guru melihat hubungan teori dan praktik. Semua itu
terlihat jelas dengan sistem balajar pada zaman dahulu yang mengutamakan cara
pengulang-ulangan agar sukses(behavioral
learning theories),kemudian guru mengubah cara mengajar mereka ketika
mereka ketika mereka dikonfrontasi dengan pandangan berdasar pada penemuan
penelitian bahwa mengulang bukanlah strategi belajar yang terbaik untuk
mencapai tingkat yang lebih tinggi.
Contempory
behaviorist yang sering juga disebut Stimulus-Respon oleh
psikologi, melihat faktor-faktor lingkungan stimulus dan hasil tingkah laku
dalam bentuk respons. Tingkah laku dapat dianalisis dengan mempelajari
perkembangan penguatan (reinforcement). Logikanya,
prisip-prinsip tingkah laku belajar merupakan suatu metode untuk mengubah atau
memodifikasi tingkah laku. Oleh karena itu, tanggung jawab guru adalah membuat
suatu lingkungan yang memungkinkan adanya penguatan atau hadiah bagi siswa.
Berbeda
dengan prospektif tingkah laku, ahli psikolog kognitif berpendapat bahwa guru
dapat lebih efektif mengajar jika dia tahu pengetahuan apa yang telah
didapatkan siswa dan apa yang siswa pikirkan selama pengajaran. Weinnstein dan
Mayer (1985) menyatakan bahwa “pengajaran yang efektif” meliputi mengajar
siswa, bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir, dan
bagaimana mereka memotivasi dirinya sendiri.
A.
Teori Belajar dan Tingkah Laku
1.
E.L. Thorndike: The Law of Effect
Teori ini dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia berpendapat bahwa
belajar adalah suatu proses “stamping in”
(diingat), forming, hubungan antara
Stimulus dan Respons.
Thorndike
mempunyai kesimpulan bahwa belajar adalah pembentukan hubungan atau koneksi
antara stimulus dan penyelasaian masalah (problem
solfing) yang dapat dilakukan dengan cara trial and error (coba-coba), dan faktor penting yang mempengaruhi
semua belajar adalah reward atau
“pernyataan kepuasan dari suatu kejadian”. Selain itu, Thorndike juga
mengemukakan bahwa hukuman tidaklah penting, karena hukuman akan memperlemah
ikatan dan tidak mempunyai efek apa-apa, berbeda dengan hadiah(reward).
Law of exercise (hukum
latihan) adalah prinsip belajar yang dinyatakan hubungan antara stimulus dan
respons menjadi semakin kuat dengan respons dilaksanakan terhadap stimulus.
Dengan latihan berkali-kali (law of use)
hubungan antara stimulus dan respons makin kuat. Latihan tanpa adanya hadiah
tidaklah efektif karena hubungan diperkuat hanya oleh latihan yang mendapatkan
hadiah. Jadi, seorang guru haruslah tahu apa yang hendak diajarkan, respons apa
yang akan diharapkan, dan kapan harus memberikan hadiah atau penguat.
The Law of
Effect (hukum
pengaruh) mengarah pada pemberian hadiah yang konkret, seperti halnya dengan
gambar yang ditempelkan pada kertas hasil ulangan siswa, pujian verbal (untuk
siswa TK dan SD).
2.
Ivan Pavlow (1849-1936): Classical Conditioning
Pada penelitiannya dengan menggunakan hewan
anjing, Ivan Pavlow menyimpulkan bahwa Perangsang bersyarat (conditioned stimulus) haruslah segera
diikuti oleh perangsang tak bersyarat (unconditioned
stimulus) dan hal yang demikian dilakukan secara berulang-ulang (32 kali)
sampai respon bersyarat (conditional
respons) terbentuk. Misalnya, anjing diberi makan bersama bunyi lonceng.
Setelah hal demikian dilakukan berulang-ulang selama lebih dari 32 kali, maka
mendengar bunyi lonceng saja anjing telah mengeluarkan air liur. Ini lah yang
disebut dengan generalisasi.
Hal
yang sama akan terjadi jika suara lonceng diganti dengan sirine secara terus
menerus, maka anjing akan tetap mengeluarkan air liur. Lain halnya jika
pengulangan tersebut tidak diikuti oleh perangsang tak bersyarat, respon
bersyarat akan hilang. Ini dinamakan dengan istilah extinction (ekstingsi). Misalnya, setiap kali dibunyikan lonceng
tetapi tanpa disertai makanan.
3.
J.B Watson (1878-1958): Conditioning Reflect
Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa
reflek dan reaksi emosi, ketakitan, cinta dan marah. Semua tingkah laku
dikembangkan oleh pembentukan stimulus dan respons baru melalui conditioning. Contoh singkat yang
dikemukakan Watson adalah siswa belajar bersikap negatif terhadap bahasa asing,
karena mereka berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, yaitu
ketika guru menyuruh untuk menerjemahkan di muka kelas, dan siswa yang membuat
salah mendapat marah.
4.
B.F Skinner: Operant Conditioning
Skinner memandang hadiah sebagai unsur yang paling
penting dalam proses belajar. Kita ccenderung untuk belajar suatu respons jika
segera diikuti oleh penguatan. Penemuan Skinner memusatkan hubungan antara
tingkah laku dan konsekuen. Contoh, jika tingkah laku individu segera diikuti
oleh konsekuensi menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku itu lagi
sesering mungkin. Menggunakan konsekuensi yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan dalam mengbah tingkah laku sering disebut sebagai Operant Conditioning. Jadi, konsekuen
yang menyenangkan akan bertambah frekuensinya, sementara konsekuensi yang tidak
menyenangkan akan berkurang frekuensinya.
Teori Skinner jika disederhanakan, pembentukan
tingkah laku dalam Operant Conditioning antara
lain, (1) Mengindentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcement bagi tingkah laku yang akan dibentuk. (2) Melakukan
analisis untuk mengindentifikasi aspek-aspek kecil yang membentuk tingkah laku
yang dimaksud secara urut. (3) kemudian mengindentifikasikan reinforce untuk masing-masing aspek atau komponen itu.
(4) Melakukan pembentukan tingkah laku dengan mengguanakan urutan aspek-aspek
yang sudah disusun. Kalau aspek pertama telah dilakukan, maka hadiah diberikan,
ini mengakibatkan aspek tersebut sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk,
dilakukan aspek kedua dan diberi hadiah, demikian berulang-ulang sampai aspek
kedua terbentuk dan demikian seterusnya terhadap aspek-aspek yang lain, sampai
seluruh tingkah laku yang diharapkan akan terbentuk.
Dasar Operant
Conditioning dalam pengajaran adalah untuk memastikan respons terhadap
stimuli. Guru berperan penting di kelas, dengan mengontrol langsung kegiatan
belajar siswa.
4.1
Generalisasi
Generalisasi adalah kecenderungan organism (manusia) untuk memberikan
respons tidak saja terhadap stimuluskhusus yang dilatih, tetapi juga terhadap
stimulus yang berhubungan. Misalnya, anak kecil diberi kertas. Setelah bermain
kertas, kemudian ia menarik taplak meja yang dianggapnya sama dengan kertas.
Jadi, dia merespons yang sama untuk stimuli yang berbeda. Dalam kenyataanya
semuanya tidaklah selalu sukses atau sama penerapannya, itulah yang membuat
berkembang.
4.2
Diskriminasi
Diskriminasi adalah belajar membrikan respons
terhadap suatu stimulus dan tidak memberikan respons terhadap stimulus lain,
walaupun stimulus itu berhubungan dengan stimulus pertama. Contohnya, seorang
anak kecil belajar mendiskriminasi antara huruf b dan d, dan anak yang lebih besar membedakan
kata afektif dan kata efisien.
Penggunaan diskriminasi stimuli yang efektif sangat
penting dalam pengajaran dan pengelolaan kelas. Lebih baik guru memberikan
pesan kepada siswa-siswanya dengan menggunakan kalimat yang jelas, sehingga
siswa memahami dengan jelas tanpa melakukan hal atau kegiatan yang salah.