A.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar
yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan
jasmaniah dan rohaniah ke arah kedewasaan. Peserta didik di dalam mencari
nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena
menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah
sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas
pendidikan agama peserta didik.
Dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik adalah makhluk
yang sedang berada dalam proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya
masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisiten
menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dengan demikian, maka agar
pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan
pendidikan yang sesuai dengan perkembangan fitrah anak didik.
Berkaitan dengan hal di atas, maka peseta didik dalam
pendidikan Islam memiliki aspek-aspek penting yang perlu kita kaji dan
kembangkan dalam kajian pendidikan. Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini
kami akan menjelaskan tentang pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam,
kebutuhan-kebutuhan peserta didik, karakteristik peserta didik, dan sifat-sifat
serta kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam, dengan Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud peserta didik ?
2. Apakah
yang dimaksud dengan peserta didik dalam pendidikan Islam?
3.
Apa kebutuhan-kebutuhan peserta didik dalam pendidikan Islam?
4. Bagaimana
karakteristik peserta didik dalam pendidikan Islam?
5.
Bagaimana sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam?
B.
Definisi Peserta Didik
Secara
etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu.
Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami
perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan dan arahan
dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses
pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah
mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental
maupun fikiran.
Peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya
selalu dalam perkembangan. Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa
perkembangan peserta didik itu selalu menuju kedewasaan dimana semuanya itu
terjadi karena adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik.
Siswa atau peserta didik adalah salah satu komponen manusia
yang menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar, peserta didiklah
yang menjadi pokok persoalan dan sebagai tumpuan perhatian. Di dalam proses
belajar mengajar, siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki
tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Peserta didik itu akan
menjadi faktor “penentu”, sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala
sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.Itulah sebabnya sisa
atau peserta didik adalah merupakan subjek belajar.
C.
Definisi Peserta Didik dalam
Pendidikan Islam
Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”.
Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah
bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib
secara bahasa berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf
adalah penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya
untuk mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut
peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk
perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa.
Peserta didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia
dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang
baik, selanjutnya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang
tuanya dan juga setiap mu’alim dan murabbi
yang menangani pendidikan dan pengajarannya. Sebaliknya, jika peserta didik
dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan
pengajaran seperti hewan ternak yang dilepaskan beitu saja dengan bebasnya,
niscaya dia akan menjadi seorang yang celaka dan binasa.
Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam
pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara
fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan
di akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan
individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk
menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga,
murid adalah peserta didik di sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik
masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam
suatu agama.
Dengan demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas
mengajar, mendidik, dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk
meraih surga. Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan
mejerumuskan diri ke dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini,
terlebih lagi Nabi bersabda
أَكْرِمُوْااَبْنَاءَكُمْ
وَأَحْسِنُوْا اَدَبَهُمْ
“Muliakanlah anak-anakmu dan
didiklah mereka dengan baik” (hadits diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, tetapi
Al-Albani menilainya dha’if)
Menurut Langeveld anak manusia itu memerlukan pendidikan,
karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid). Dalam Al-Quran
dijelakan:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ
مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)
Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus
dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat
anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya
akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta
didik.
Hal
ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:
مَامِنْ مَوْلُوْدٍ
اِلَّايُوْلَدُعلَىَ الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ
اَوْيُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)
Artinya:
“Tidaklah anak yang dilahirkan itu
kecuali telah membaa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka
kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani,
Majusi (HR. Muslim)
Menurut hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan;
kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang disebut di dalam hadis itu
adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini
adalah pembawaan. Ayah-ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang
dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis ini,
yang menentukan perkembangan seseorang.
Manusia memepunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh
banyak potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat
dibagi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan
menjadi orang yang jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam
kecenderungan menjadi baik.
Firman
Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)
Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya
anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para
pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak
dalam pertumbuhannya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan
sejak peserta didik itu masih usia muda, karena kalau tidak demikian
kemungkinan mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam
yang diberikan pada masa dewasa. Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam
dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang
sesuai dengan perkembangan peserta didik, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
خَاطِبوُاالنَّاسَ
عَلىَ قُلُوْبِهِمْ (الحديث)
“Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan
tingkat perkembangan akalnya” (Al-Hadits)
C.
Kebutuhan-Kebutuhan
Peserta Didik
a.
Kebutuhan
Fisik
Fisik
seorang anak didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses
pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan:
1)
Peserta
didik pada usia 0-7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami masa
kanak-kanak
2)
Peserta
didik pada usia 7-14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah
mengalami masa sekolah yang didukung dengan peralihan pendidikan formal.
3)
Peserta
didik pada usia 14-21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami masa
pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.
b. Kebutuhan Sosial
Adalah kebutuhan yang berhubungan langsung dengan masyarakat
agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat lingkungan. Begitu juga
supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya,
guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat
memperoleh kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat memperoleh posisi
dan berprestasi dalam pendidikan.
c.
Kebutuhan
untuk Mendapatkan Status
Dalam proses kebutuan ini biasanaya seorang peseta didik
ingin menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang
benar-benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah
lingkungan masyarakat
d. Kebutuhan Mandiri
Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama
yaitu untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta
menghilangkan rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik
karena ketika seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat
menghambat daya kreativitas dan kepercayaan diri untuk berkembang
e.
Kebutuhan
untuk berprestasi
f.
Kebutuhan
ingin disayangi dan dicintai
g. Kebutuhan untuk curhat
h. Kebutuhan untuk memiliki filsafat
hidup
Peserta didik memiliki beberapa dimensi penting yang
mempengaruhi akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus diperhatikan
secara baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta didik yang berakhlak
mulia dan dapat disebut insan kamil
dimensi fisik (jasmani), akal, keberagamaan, akhlak, rohani (kejiwaan), seni
(keindahan), sosial.
Di dalam proses pendidikan seorang peserta didik yang
berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara
langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan
dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan
pengakuan tersebut seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu
berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya
dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut. Adapun
hal-hal yang harus dipahami adalah:
o Kebutuhannya
o Dimensi-dimensinya
o Intelegensinya
o Kepribadiannya.
D.
Karakteristik
Peserta Didik
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik
peserta didik adalah:
1)
Peserta
didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode
belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa. Orang dewasa
tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan
dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya.
2)
Peserta
didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal
mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki
kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan
tahap dasar (basic needs) yang
meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki
(sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang
terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan,
keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian, masih ada
kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu, yaitu
kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah
sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut,
sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.
3)
Peserta
didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik
perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun eksogen
(lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan
lingkungan yang mempengaruhinya. Pesrta didik dipandang sebagai kesatuan sistem
manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta
didik walaupun terdiri dari dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga
(cipta, rasa dan karsa)
4)
Peserta
didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan
dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas
sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam
pendidikan tidak hanya memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya
menerima, mendengarkan saja.
5)
Peserta
didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam mempunyai pola
perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah
bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta
irama perkembangan peseta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat
ditentukan oleh usia dan priode perkembangannya, karena usia itu bisa
menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik,
baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis.
E.
Sifat-Sifat
dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban
yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,
merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:
1) Belajar dengan niat ibadah dalam
rangka taqarrub kepada Allah
SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak
yang tepuji (tahalli) (perhatikan
QS. Al-An’am: 162, Al-Dzariyat: 56).
2) Mengurangi kecenderungan pada
duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (QS. Adl-Dluha: 4). Artinya, belajar tak
semata-mata untuk mendapatkan pkerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi
mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah
SWT.
3) Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan
pribadi untuk kepentingan pendidikannya. Sekalipunia cerdas, tetapi ia bijak
dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidikanya, termasuk juga bijak kepada
teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4) Menjaga pikiran dan pertentangan
yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh
satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun
untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT, sementara ilmu tercela akan menjauhkan
dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antar sesamanya.
6) Belajar dengan bertahap atau
berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang
sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu
‘ain menuju ilmu yang fardlu
kifayah (QS. Al-Insyiqaq: 19).
7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk
kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki
spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi
jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus
(QS. Al-Insyirah: 7)
8) Mengenal nilai-nilai ilmiah atas
ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam
memandang suatu masalah.
9) Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban
sebagai makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu duniawi.
10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi
suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan,
menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
11) Peserta didik harus tunduk pada
nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya,
mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh
pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk
mengikuti kesenian yang baik.
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik
dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya
tujuan pendidikan. Adapun syarat-syarat tersebut, yaitu:
a)
Memiliki
kcerdasan (dzaka’); yaitu
penalaran, imajinasi, wawasan (insight),
pertimbangan dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara
cepat dan tepat. Kecerdasan kemudian berkembang dalam tiga definisi, yaitu: (1)
kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat
dan efektif; (2) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang
meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan
mengkritik; dan (3) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan
cepat sekali.
Jenis-jenis kecerdasan meliputi; (1) kecerdasan intelektual yang menggunakan
otak kiri dalam berpikir linear; (2) kecerdasan emosional, yang menggunakan
otak kanan/intuisi dalam berpikir asosiatif; (3) kecerdasan moral, yang
menggunakan tolak ukur baik buruk dalam bertindak; (4) kecerdasan spiritual,
yang mampu memaknai terhadap apa yang dialami dengan mengguanakan otak unitif;
(5) kecerdasan qalbiyah atau ruhaniyah yang puncaknya pada
ketakwaan diri kepada Allah SWT.
b)
Memiliki
hasrat (hirsah), yaitu kemauan, gairah, moril
dan motivasi yang tinggidalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap
ilmu yang diperolehnya.
c) Bersabar dan tabah (isthibar) serta tidak mudah putus asa
dalam belajar, walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi,
psikologis, sosiologis, politik, bahkan administatif. Sabar adalah menahan (al-habs) diri, atau lebih tepatnya
mengendalikan diri, yaitu menhindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas,
marah, dan kekacauan terutama dalam proses belajar. Sabar juga meliputi
menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan menerima cobaan dalam proses
pendidikan (QS. Ali Imran: 200). Menurut Al-Ghazali, sabar terkait dengan dua
aspek, yaitu: Pertama, fisik (badanî), yaitu menahan diri dari
kesulitan dan kelelahan badan dalam belajar. Dalam kesabaran ini sering kali
mendatangkan rasa sakit, luka dan memikul beban yang berat; kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan
diri dari natur dan tuntutan hawa nafsu yang mengarahkan seseorang meninggalkan
pertimbangan rasional dalam mencari ilmu.
d)
Mempunyai
seperangkat modal dan sarana (bulghah)
yang memadai dalam belajar. Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi
penting, yang digunakan untuk kepentingan honor pendidik, membeli buku dan
peralatan sekolah, dan biaya pengembangan pendidikan secara luas. Secara
spiritual, inilah investasi yang hakiki dan abadi yang dapat dinikmati untuk
jangka panjang dan masa depan di akhirat
e)
Adanya
petunjuk pendidik (irsyad ustadz),
sehingga tidak terjadi salah pengertian (misunderstanding)
terhadap apa yang dipelajari. Dalam belajar, seseorang dapat melakukan metode autodidak, yaitu belajar secara
mandiri tanpa bantuan siapa pun. Sekalipun demikian, pendidikan masih tetap
berperan pada peserta didik dalam menunjukkan bagaimana metode belajar yang
efektif berdasarkan pengalaman sebagai seorang dewasa, serta yang terpenting,
pendidik sebagai sosok yang perilakunya sebagai suri tauladan bagi peserta
didik. Dalam banyak hal, interaksi pendidikan tidak dapat digantikan dengan
membaca, melihat dan mendengar jarak jauh, tetapi dibutuhkan face to face antara kedua belah pihak
yang didasarkan atas suasana psikologis penuh empati, simpati, atensi,
kehangatan, dan kewibawaan.
f)
Masa yang
panjang (thuwl al-zaman), yaitu
belajar tiada henti dalam mencari ilmu (no
limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian sampai liang lahat). Syarat ini
berimplikasikan bahwa belajar tidak hanya di bangku kelas atau kuliah, tetapi
semua tempat yang menyediakan informasi tentang pengembangan kepribadian,
pengetahuan, dan keterampilan adalah termasuk juga lembaga pendidikan.
G. Kesimpulan
Peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya
selalu dalam perkembangan. Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa
perkembangan peserta didik itu selalu menuju kedewasaan dimana semuanya itu
terjadi karena adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik.
Di dalam proses pendidikan seorang peserta didik yang
berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara
langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan
dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman, Jamal, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah :
Bahrun Abu Bakar
Ihsan Zubaidi, (Bandung :
Irsyad Baitus salam, 2008)
Ahmadi,Abu, dkk., Ilmu Pendidikan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2006), cet. 2.
Ali, M. Nashir,
Dasar-Dasar Ilmu Mendidik,
(Jakarta: Mutiara, 1982).
Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), cet. 1.
Mujib, Abdul,
Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta : Kencana, 2008), cet. 2.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia,
Jakarta, 2006.
http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/konsep-peserta-didik-dalam-pendidikan.html
http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/konsep-peserta-didik-dalam-pendidikan.html
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Tafsir,
Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2008),
cet. 8.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta : Bumi Aksara, 1995), cet. 2.