1. Syari’at
Syariat
adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi
untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya.
Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat
universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan
paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan
tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal
sebagai hadits. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan
simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.
Para sahabat
sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling
memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup
sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan
dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris
ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian
menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah
cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam
itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan
Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.
Untuk
melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang
tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan
Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah
memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat
mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara
shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat
kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang
13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman
untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi.
Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya
bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.
Ketika
memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati
wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan
wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan
lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik.
Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan,
menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik
menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa
sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat
wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat
maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog
yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.
Syariat tidak
mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan.
Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan
metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada
Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan
perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah
istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau
Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan
Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman
agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti
nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa
mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.
Kalau
ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan
dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya
sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun
dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati
berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh
masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Ibadah haji
yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya
disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia
akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya
berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah
itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba
untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah
muncul.
Disini
sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan
aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar
yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh
menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi
kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai,
menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi
ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan
sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah.
Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak
di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa
berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan
perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan
jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian
menegakkan shalat”.
Kesimpulan
dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat
ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU.
Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya
bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat
maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut
tidak terpisah tapi SATU.
2.Fiqih
Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa berarti; faham,
sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28)
Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah At Taubah: 122, Surah An Nisa: 78
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28)
Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah At Taubah: 122, Surah An Nisa: 78
Fiqh
dalam terminologi Islam
Dalam terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan
makna; apa yang dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang
populer di genersi kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh
menurut versi masing-masing generasi;
Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal
Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal
Dalam pemahaman generasi-generasi
awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.), fiqh berarti pemahaman yang
mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar
berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah).
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah).
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim).
"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim).
Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu
bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang
Thaif, ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari).
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari).
Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan
khutbah yang penting pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan
untuk menundanya, karena dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia
berkata:
"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari).
"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari).
Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang
difahami generasi sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga
Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh
al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan
makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu
hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda: "Dan
akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan
Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan
norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang
memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan
hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik).
Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan
diatas, Shadru al Syari'ah Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah
fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang
seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan
aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan
(urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."
Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang
dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam
i'tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu
yang baru."
Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al
Hasan al Bashri: "Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia,
menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya,
bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta
orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."
Pengertian fiqh dalam terminologi Mutaakhirin
Dalam terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu'
yaitu:"mengetahui hukum Syara' yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya
yang rinci.
Syarah/penjelasan definisi ini adalah:
- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus sholaah", bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.
Syarah/penjelasan definisi ini adalah:
- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus sholaah", bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.
Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum
syara' yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima
waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny,
seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang
harus dibasuh dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?
Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam
memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang
furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.
3. Ushul
Fiqih
Pada dasarnya, istilah ushul fiqih mempunyai dua makna
terminologis, yaitu terminology ahli fiqih (at tariff al idafi) dan
terminology ajli ushul yaitu (at-tarif al-laqabi). Ta’rif idafi ushul
fiqih artinya dalil dalil fikih atau sumber sumber fikih. Adapun at-ta’rif
al-laqabi ushul fikih artinya kaidah kaidah yang menjadi sarana istinbat hukum
syar’i dari sumber sumbernya yang terperinci.
Pengertian
Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul
dan kata Fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari asl dan al-fiqh.
Asl secara etimologis memiliki arti pangkal (asl),sumber (mansya),
pokok,induk,sentral,lawan dari cabang (muqabil al-far), asas. Dan ushul
fiqih dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu
Syari'ah. Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul
dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga
dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul
yang bentuk jamak dari kata ashl itu, menurut bahasa berarti sesuatu
yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut
bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi
fiqh.
Sedangkan secara etimologis, kata fiqh digunakan untuk menyebut
pemahaman yang mendalam terhadap suatu ilmu, tidak sekedar tahu saja.
Karenanya, setiap faqih dapat dipastikan alim, tetapi tidak
semua alim adalah faqih . pada umumnya, istilah fiqh
digunakan dalam bidang ilmu-ilmu agama, karena disiplin ilmu agama dinilai
lebih mulia dan utama dibandingkan disiplin ilmu lainya.
Jumhur ulama ushul fiqh mendefinisikanya sebagai himpunan
kaidah(norma-norma)yang berfungsi sebagai alat penggalian syara dari dalil
dalilnya.
Pendapat ini dikemukakan oleh syekh Muhammad Al-Khudhary Beik,seorang guru
besar universitas Al-Azhar kairo. Adapun Kamaludin Ibnu Humam dari kalangan
ulama Hanafiyah mendefinisikan ushul fiqh sebagai pengetahuan tentang kaidah
kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqh.
Pengertian ushulfiqh di atas memiliki penekanan yang berbeda. Menurut
ulama Syafi’iyaah,objek kajian ushul fiqh adalah dalil dalil yang
bersifat ijmali(global) bagaimana cara men-instinbath
hukum; syarat orang yang menggali hukum, atau syarat syarat seorang mujtahid
. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama,yang
menekankan pada operasional ataj fungsi ushul fiqh itu sendiri,yaitu proses
penggunaan kaidah kaidah ushul fiqh dalam menggali hukum syara.
Penggalian hukum islam dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan
tekstual dan pendekatan konstekstual. Dalam istilah lain dalam dapat dikatakan
sebagai pendekatan yang menitik beratkan maksud maksud syariat atau maqasid yang
menjadi roh hukum itu sendiri. Rachmat Syafi’I mengatakan bahwa pendekatan
esensial atau substantive sering munggunakan kaidah fiqiyah sebagai kerangka
teoritis yang mengandung kandungan hukum yang terdapat dalam dalil-dalil kully
Dalil
hukum syara’ yang yang dimaksudkan adalah hujjah syar’iyah yang dapat
bersifat riwayah maupun dirayah. Dalam realitasnya,semua praktik
keseharian atau amaliyah syar’iyah yang dilaksanakan oleh umat islam
wajib didasarkan dalil dalil tertentu. Ibadah kepada Allah, misalnya shalat,
pelaksanaanya wajib didasarkan oleh dalil dalil, baik perintah yang menetapkan
hukum wajib maupun yang hukumnya sunnat. Demikian pula, dalam ibadah
muamalah,tidak semuanya dibolehkan. Hal tersebut karena dari berbagai jenis
kemuamalahn, ada dalil dalil yang melarang perbuatan tertentu dengan kedudukan
hukum yang jelas, misalnya hukumnya haram.