Manusia
hidup dunia mempunyai hukum, baik itu hukum agama ataupun negara, hukum adalah
sebuah aturan yang dibuat oleh manusia guna memberikan kemaslahatan bagi
manusia itu sendiri, selain itu juga di tujukan kepada tuhan, benda, dan
seluruh aspek kehidupannya.
Di Negara Indonesia mayoritas
penduduknya adalah pemeluk agama islam akan tetapi Negara ini tidak sepenuhnya
diatur oleh hukum islam. Hukum Islam adalah hukum yang
ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya yang terdapat dalam Al Qur’an dan dijelaskan
Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya melalui sunnah. Untuk syari’at Islam sering
dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fikih Islam
dipergunakan hukum fikih atau hukum Islam. Syari’at adalah landasan fikih dan
fikih adalah pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at. Tujuan dari
syari’at adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan kehidupan kita. Secara umum ada
5 hal :
1. Hifdzu ad-diin (menjaga
agama)
2.
Hifdzu al-‘aql (menjaga akal)
3. Hifdzu al-maal (menjaga harta)
4. Hifdzu an-nasb (menjaga
keturunan)
5. Hifdzu an-nafs (menjaga diri).
Syari’at Islam adalah ketetapan
Allah tentang ketentuan hukum dasar yang bersifat global/universal dan kekal,
sehingga tidak mungkin dirombak oleh siapapun dan kapanpun akan tetap utuh dan
seperti itu adanya, sedangkan fiqih adalah penjabaran syari’at dari hasil
ijtihad para mujtahid sehingga bersifat lokal dan temporal, yang menunjukan
bahwa fiqih itu bisa berubah-rubah tergantung situasi dan kondisinya. Urutan
sumber hukum Islam menunjukkan urutan, kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya.
Apabila suatu masalah memerlukan kepastian hukum, maka pertama dicari
penjelasan Al Qur’an jika tidak ditemukan maka dicari dari sunnah (hadis),
apabila tidak ditemukan juga, akhirnya dicari dengan ijtihad dengan metode
musyawarah dan kesepakatan (ijma’) ulama ataupun qiyas (penganalogian).
Al Qur’an memiliki arti
bermacam-macam, salah satunya adalah “bacaan” atau “dibaca”. Al Qur’an adalah
bentuk masdar dari kata qara’a, yaqra’u, qur’anan artinya membaca. Walaupun
demikian, Al Qur’an merupakan petunjuk, pedoman, dan penjelas mana yang pantas
dan tidak pantas untuk dilakukan.
Al
Qur’an memiliki kriteria antara lain :
a. Al-Qur’an adalah firman Allah atau
Kalamullah, Al-Qur’an juga memiliki nama lain seperti Al-Huda (petunjuk),
Asy-Syifa’ (obat), Al-Furqon (pembeda), dan lain-lain.
b. Al Qur’an diwahyukan kepada Nabi
Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dengan jalam Mutawatir. Mutawatir
adalah wahyu yang diterima Nabi Muhammad disampaikan dan diajarkan kepada orang
banyak sebagai jaminan keotentikan isi AlQur’an.
c. Al Qur’an adalah mukjizat.
d. Al Qur’an diawali dengan surat Al
Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Ditinjau
dari segi fungsi, Al Qur’an seharusnya setelah dibaca, dipahami lalu diamalkan
dan dijadikan sebagai petunjuk yang memberikan penjelasan mana yang
haq/benar untuk dilaksanakan dan bathil untuk ditinggalkan. Jadi fungsi Al
Qur’an, antara lain :
a. Al Qur’an berfungsi sebagai petunjuk
(hudan).
b. Al Qur’an berfungsi sebagai penjelas
(tibyan).
c. Al Qur’an berfungsi sebagai pembeda
(furqan)
Dalam
menetapkan syariat Islam, Al-Qur’an senantiasa memperhitungkan kemampuan
manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan
kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum
dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an,
لايكلف الله نفسا الا وسعها لها ما
كسبت و عليها مااكتسبت ربنا لا تؤاخذنا ان
نسينا أو أخطأنا ربنا و لا تحمل علينا اصرا كما حملته على الذين من قبلنا ربنا و
لا تحملنا ما لا طاقة لنا به واعف عنا واغفر لنا وارحمنا أنت مولىنا فانصرنا على
القوم الكافرين (البقرة:٢٨٦)
Artinya :
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. Al-Baqarah: 286)
Selain
AL-Qur’an Hadits juga menjadi landasan mengenai hukum islam itu sendiri. Hadits
ialah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir (diam dan persetujuan)Nabi. Jadi
hadits itu juga berperan dalam beberapa hal, yaitu :
a. Menguatkan
dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
b. Menguraikan dan merincikan yang
global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan mentakhsiskan yang umum(‘am),
Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki
Al-Qur’an. Rasululloh mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman
Alloh SWT dalam QS. An-Nahl ayat 44: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl : 44)
c. Menetapkan
dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum yang terjadi
adalah merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an.
Contohnya seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu,
haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain
sutra bagi laki-laki.
Dengan demikian hukum syara’ sebenarnya sudah di ciptakan
oleh Allah jauh sebelum manusia ada, manusia hanya menemukan hukum-hukum
tersebut, tidak menciptakannya, baik itu dalam Al-Qur’an, Hadits ataupun
perincian dan penjabaran dari keduanya. Maksud dari membuat disini yaitu menemukan
dan kemudian mengemas atau meramunya, laksana manusia membuat sebuah makanan
yang mana bahan-bahannya sudah tersedia.
Beralih ke fiqih
menurut bahasa fiqih berarti
faham/mengerti/mengetahui. Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’
yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali
tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni
orang-orang yang mendalami fiqih.
Fiqih itu bersifat relatif yang berarti tidak tetap,
temporal, yang mana suatu saat bisa berubah karena perihal waktu, dan yang
terakhir lokalistik, yaitu tergantung pada tempat yang merupakan setiap tempat
itu mempunyai peradaban yang berbeda-beda. Maka dalam hal ini hukum tidak bisa
disamakan dalam segala hal.
Seperti halnya perbedaan hukum antara Imam Syafi’i dan Imam
Hanafi dalam masalah wali nikah. Padahal dalil sudah menunjukan bahwa “لا نكاح إلا بولي” yang artinya:
Nikah itu tidak sah jika tidak ada wali. Imam Syafi’i berpendapat bahwa, nikah
itu wajib adanya wali, sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa dalam nikah,
wali itu tidaklah wajib. Sebenarnya perbedaan pendapat dalam hal ini karena
faktor lokalistik, Imam Syafi’i hidup di Mesir, pada waktu itu Mesir adalah
daerah yang berhukum hijaz, pergaulan antara laki-laki dengan perempuan itu
tertutup, jadi sulit untuk bergaul dan saling mengenal, maka Imam Syafi’i dalam
hal ini mewajibkan adanya wali. Berbeda dengan Imam Hanafi yang hidup di Baghdad
(Irak) pada waktu itu Baghdad adalah kota yang menjadi pusat peradaban islam,
pergaulan laki-laki dengan perempuan itu mudah tidak tertutup karena banyak pendatang yang menimba ilmu di
daerah tersebut, tidak seperti di daerah Imam Syafi’i, jadi dengan alasan
seperti itulah yang membuat beliau membuat hukum yang berbeda.
Dasar dari dail-dail syar’i adalah al-qur’an dan sunah namun tidak selalu
bersifat deduktif seperti itu biasanya disesuaikan dengan kenyataan dan
permasalahan yang menghinggapi masyarakat sehinga mendapatkan jawabannya
secara konstektual.
Bagaimana para ulama mengambil hukum dari al-Qur’an yang brsifat
universal dan global, dan as-Sunah yang secara kasat mata kita tidak mengetahui
tentang apa yang dilakukan Nabi Muhamad sebagai pentransfer Sunah yang berasal
dari wahyu ditambah dengan laporan para shabat yang berbeda redaksi mngenai
laporannya terhadap sunah yang diketahuinya. Oleh karena itu mereka menggunakan
teori hukum dan metodologi yang disebut dengan “Ushul Fiqih” ushul
fiqih berarti pemahaman mendalam mengenai hukum islam, ia menjelaskan dan
menguraikan tori dan metode yag digunakan untuk mendeduksi atura-aturan dari
sumber-sumbernya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah. Jadi Ushul Fiqih adalah metode
atau teori ijtihad didalam melahirkan hukum islam yang sesuai dengan Al-Qur’an
dan As-Sunah
Fiqih dan
Ushul Fiqih juga mempunyai keterkaitan dengan ilu-ilmu dan keilmuan lainnya
Apakah
fiqih dan ushul fiqih terpisah dari keilmuan islam lainnya ? jawabnya
jelas tidak yaitu ada kaitan antara mereka, namun yang jelas bahwa terkait ada
tiga:
1.
Al-Quran dan As-Sunnah
2.
Dinamika Masyarakat
3. Sisitem
Keilmuan
Terkait
dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, diperlukan:
-‘Ulumul Qur’an.
-Tafsir.
-‘Ulumul
Hadist.
-NaqdAl-Hadits.
-Ushul Ad-Din
-Ilmu
Bahasa.
-Sifat
Nabawiyah
-Falsafah As-Syari’ah
Terkait
dengan perkembangan masyarakat:
Ø Sejarah
atau tarikh
Ø Akhlak
Ø Psikologi
( ‘ilm al-Nafs )
Ø Sosiologi
(‘ilm al-Ijma )
Ø Politik (
‘ilm siyasah )
Ø Ekonomi (
‘ilm iqtishad )
Ø Antropologi
( ‘ilm Hadharah )
Ø Sains dan
tekhnologi ( ‘ilm al-Thabi’ah wa al-shina’ah )
Sedangkan
bahasa secaraumunya :
ü Manthiq (
logika )
ü Falsafah
al-ma’rifah ( falsafah pengetahuan )
ü Falsafah
al-ilm ( filsafat pengetahua )
ü Ilmu
bahasa arab seperti nahwu, sharaf, balaghah, ma’ani dan sebagainya.
Makasih ya, ilmu yang sangat bermanfaat Jasa Pembuatan Website Toko Online serta layanan Jasa Pembuatan Website Penjualan Online dan
ReplyDeleteJasa Pembuatan Online Shop
Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru dan Jilbab Instan Terbaru serta Jasa Pembuatan Website Murah serta Buat Toko Online Murah
Makalah
ReplyDelete