BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi, bangkrut.[1] Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation, likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham.[2] Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain: Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing”.[3] Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyataka tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan dibitur sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan); e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan pailit adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta benda disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya (kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah dinyatakan pailit. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi.[4] Yaitu suatu perusahaan yang sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi.[5] Padah tahap insolvensi penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur sudah dinyatakan insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.[6]
Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui. Kemudian tindakan selanjutnya adalah mengenai bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan oleh Pengurus terhadap perseoroan yang mengalami kepailan. Maka kelompok kami tertarik untuk menulis mengenai hal tersebut dengan judul PROSES KEPAILITAN DAN TANGGUNGJAWAB PENGURUS TERHADAP PERSEROAN PAILIT.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses terjadinya kepailitan?
2. Bagaimana tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap Perseroan yang dipailitkan?
3. Contoh kasus pailit batavia air dan bagaimana penyelesaiannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya kepailitan.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap Perseroan yang dipailitkan.
3. Untuk memaparkan dan menganalisis kasus pailit yang terjadi pada PT Batavia Air dan penyelesaiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Terjadinya Kepailitan
1. Prinsip-Prinsip umum dalam Proses terjadinya Kepailitan
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan pengertian yang ada pada undang-undang kepailitan, para ahli hukum memberikan makna atau pengertian yang jelas tentang kepailitan, salah satunya menurut Adrian Sutedi yang meberikan pengertian “suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan kreditor-kreditornya”.[7] Kepailitan harus memenuhi dan berlandaskan pada asas:[8]
a. keseimbangan, tidak ada penyalahgunaan lembaga atau pranata dalam kepailitan yang digunakan oleh debitor yang tidak jujur dan terdapat ketentuan yang dapat mencegah kreditor melakukan itikad tidak baik.
b. asas kelangsungan usaha, debitor yang pada proses kepailitannya atau telah diputus kepailitannya tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya
c. asas keadilan, pada asas ini kepailitan dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang memiliki kepentingan sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan baik yang dilakakan oleh salah satu pihak.
d. Asas integrasi, dalam hal ini kepailitan harus berdasarkan hukum formil dan materiil yang berlaku di Indonesia.
Kepailitan diatur dalam suatu kaedah hukum memiliki tujuan untuk menuju hukum kepailitan yang progresif. Untuk mencapai tujuan terdapat syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan pailit, yaitu:[9]
a. Mempunyai dan diajukan oleh dua atau lebih kreditor, baik kreditor separatis, preferen, dan konkurent. Kepailitan tersebut juga dapat diajukan oleh kejaksaan apabila debitor melakukan tindak pidana, serta permohonan kepailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia ketika debitor adalah perbankan, permohonan dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal apabila debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian. Permohan dapat pula diajukan oleh menteri keuangan apabila debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Kreditur-kreditur tersebut menyatakan debitor tidak membayar lunas sedikit pun utang yang harus dibayar dalam jangka waktu jatuh tempo.
2. Prosedur Kepailitan
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004 yang telah dibahas sebelumnya oleh penulis. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Pengajuan selain dapat dilakukan oleh kreditur atau lembaga yang diberikan kewenangan yaitu debitur itu sendiri. Debitur yang melakukan permohonan kepailitan pada Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat sebagai berikut:[10]
a. Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga
b. Akta pendafataran perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan
c. Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham (RUPS)
d. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
e. Neraca keuangan terakhir
f. Nama serta alamat debitur dan kreditur
Syarat yang harus dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan kepailitan adalah:[11]
a. Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Niaga
b. Akta pendaftaran perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan
c. Surat perjanjian utang yang ditanda tangani kedua belah pihak
d. Perincian utang yang tidak terbayar
e. Nama dan alamat masing-masing kreditur/debitur
Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau pencocokan utang antara debitur dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau pencocokan utang seorang debitor wajib datang sendiri agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawasmengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Pada rapat pencocokan utang setelah semua pihak hadir baik debitor, kurator, maupun kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar piutang yang diakui sementara dan daftar yang dibantah oleh kurator.
Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sedangkan perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan pailit dan termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.[12]
Pada proses pengurusan harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan kepengurusan yaitu:[13]
a. Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan pemberesan harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004
b. Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit
Dalam hal kepailitan terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan, kasasi ke Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan pailit yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Proses pengurusan kepailitan dianggap telah berakhir apabila telah terjadi hal-hal seperti berikut:[14]
a. Akur atau perdamaian, terjadi ketika terdapat perjanjian antara debitur pailit dengan para kreditur di mana debitur menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya.
b. Insolvensi atas pemberesan harta pailit, ketika terjadi insolvensi apabila kepailitan tidak ditawarkan akur atau perdamaian atau tidak dipenuhinya suatu kesepakatan sehingga terjadi keadaan tidak mampu membayar, sebagaimana diatur pada pasal 178 UU no 37 tahun 2004.
c. Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi dapat diajukan oleh debitur pailit atau ahli warisnya dengan dibuktikan bahwa kreditur telah menerima seluruh pembayaran piutangnya.
Akibat hukum secara umum yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit adalah terhadap harta debitur akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur yang dibuat setelah putusan pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan perbuatan hukum yang dilakukan debitor sebelum putusan pailit diucapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan pada pasal 41 UU No 37 Tahun 2004.[15]
B. Tanggungjawab Hukum Bagi Pengurus Terhadap Perseroan yang Pailit
1. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)
Pasal 97 ayat (1) UUPT mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk kepentingan dan usaha (tujuan perseroan). Sehingga Direksi bertanggung jawab atas pengurusan dan perwakilan terhadap perseroan dalam rangka untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Tanggung jawab direksi atas kepailitan PT dijelaskan dalam ketentuan pasal 104 UUPT, antara lain:
1. Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
3. Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangk waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
4. Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan:
a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan;
5. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.
Maka dapat diketahui bahwa berdasarkan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UUPT, setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan, jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan juga bagi anggota direksi yang salah/lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangka waktu lima tahun sebelum putusan pailit diucapkan.
Pada ayat (4) memberikan kesempatan kepada anggota direksi untuk tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan, jika anggota direksi dapat membuktikan. Dengan demikian beban pembuktian ada pada anggota direksi yang bersangkutan. Pembuktian adanya unsur kesalahan atau kelalain menjadi kunci utama dalam menuntut pertanggungjawaban anggota direksi. Menurut Schreuder, pengertian kesalahan menurut hukum pidana menuntut adanya 3 (tiga) unsur berupa:[16]
1. Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
2. Dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian);
3. Kemampuan bertanggung jawab pelaku.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa beliau sependapat dengan sikap pengadilan Amerika Serikat, bahwa seorang anggota direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang dilakukan adalah kelalaian berat (gross negligence).[17] Meskipun demikian tidaklah mudah untuk membedakan mana perbuatan hukum direksi yang bersifat kelalaian ringan dan mana perbuatan direksi yang bersifat kelalaian berat, karena penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat subjektivitas.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap Direksi selaku pengurus perseroan terbatas antara lain:
1. Melakukan penahanan terhadap direksi selaku pengurus perseroan terbatas (pasal 93 sampai dengan pasal 95 UU Kepailitan)
Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat melakukan penahanan terhadap terhadap direksi selaku pengurus perseroan pailit baik di rumah tahanan negara (rutan) maupun di rumah Direksi tersebut, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa penahanan yang berlaku palin lama 30 hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh pengadilan atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau seorang kreditor lebih setelah mendengar hakim pengawas. Biaya penahanan dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit sebagai utang harta pailit.
Pengadilan juga berwenang melepaskan direksi dari tahanan atas usul hakim pengawas atau atas permohonan direksi (mewakili debitur pailit), dengan jaminan uang dari pihak ketiga bahwa direksi (mewakili debitur pailit) setiap waktu akan menghadap atas panggilan pertama.
2. Meminta kehadiran Direksi pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit (pasal 96 UU Kepailitan)
Jika direksi yang ditahan, dalam hal diperlukan kehadiran kehadiran direksi pada sesuatu perbutaan yag berkaitan dengan harta pailit maka direksi dapat diambil dari tempat tahan tersebut atas perintah hakim pengawas. Perintah hakim pengawas tersebut dilaksanakan oleh kejaksaan.
3. Direksi tidak boleh meninggalkan domisilinya (pasal 97 UU Kepailitan)
Selama kepailitan, direksi selaku pengurus PT tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa izin dari hakim pengawas.
4. Direksi wajib menghadap hakim pengawas, kurator atau panitian kreditor apabila dipanggil (pasal 110 ayat (1) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib menghadap hakim pengawas, kurator/panitia kreditor apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.
5. Direksi wajib hadir dalam rapat pencocokan piutang (pasal 121 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piuang agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Kreditor juga dapat meminta keterangan dari Direksi selaku pengurus PT mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui hakim pengawas.
2. Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas Kepailitan Perseroan Terbatas
Pasal 115 mengatur sejauh mana tanggung jawab anggota DK atas kepailitan Perseroan. Sekiranya Perseroan dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, baik hal itu terjadi atas permintaan sendiri oleh Direksi setelah mendapat persetujuan RUPS melalui proses voluntary petition maupun oleh pihak ketiga melalui proses involuntary petition.
a. Faktor yang menyebabkan anggota Dewan Komisrais Bertanggung Jawab Atas Kepailitan Perseroan
Pasal 115 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa ikutnya anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab atas Kepailitan Perseroan, apabila terpenuhi persyaratan atau digantungkan pada faktor berikut:[18]
§ Kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalian pengawasan yang dilakukan Dewan Komisaris
Syarat atau faktor pertama yang dapat menyeret anggota Dewan Komisaris selanjutnya disebut dengan DK ikut memikul tanggung jawab atas kepailitan terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaian DK melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada pengurusan yang dilaksanakan Direksi.
§ Harta kekayaan perseroan tidak mencukupi membayar seluruh kewajiban
Syarat kedua ternyata harta pailit perseroan “tidak mencukupi” membayar seluruh kewajiban Perseroan kepada para kreditor. Dalam hal demikian, setiap anggota DK ikut bertanggung jawab scara tanggung renteng untuk membayar kewajiban yang belum terlunasi dari harta kekayaan Perseroan. Tanggung jawab secara tanggung renteng yang dijelaskan diatas berlaku juga bagi anggota DK yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, asal terpenuhi syarat yang dijelaskan diatas.
b. Faktor yang dapat menggugurkan tanggung jawab anggota Dewan Komisaris atas kepailitan Perseroan
Pasal 115 ayat (3) memberi kemungkinan kepada anggota DK membebaskan diri dari keikutsertaan bertanggungjawab pribadi dan solider atas kepailitan Perseroan. Syarat yang dapat membebaskannya digantungkan pada faktor kemampuan membuktikan hal-hal berikut ini:
a) Kepalilitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
b) Telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan
c) Tidak mempunyai kepentingan pribadi, langsung/tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan
d) Telah memberikan nasihat ke direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan
Syarat pembebasan tanggung jawab pribadi ini bersifat “kumulatif” bukan bersifat “alternatif”. Oleh karena itu supaya dapat bebas dan lepas memikul tanggungjawab kepailitan itu, anggota DK yang bersangkutan harus mampu membuktikan hal- hal yang disebutkan pada a sampai dengan d.
C. Contoh Kasus Pailit Batavia Air
Batavia Air Pailit
Seiring palu majelis hakim, maka jelaslah status armada penerbangan berjadwal Batavia Air. Status baru itu adalah Batavia Air dinyatakan pailit. Majelis hakim mengamini permohonan pailit kreditor PT Metro Batavia, operator Batavia Air. Putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta melalui permohonan pailit yang mengabulkan permohonan yang diajukan International Lease Finance Corporation, Rabu (30/1). Keputusan untuk memailitkan maskapai yang dikenal dengan logo Trust Us to Fly ini karena telah memenuhi syarat-syarat kepailitan yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya kreditor lain. Syarat ini merujuk Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Perihal utang, Batavia Air diwajibkan membayar sewa pesawat senilai AS$4.688.064,07, juga biaya cadangan, dan bunga yang tertuang dalam Aircraft Lease Agreement tertanggal 20 Desember 2009. Namun, Batavia tak lagi mampu membayar utang-utang tersebut sejak 2009 lalu dan jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Tak ada kemampuan Batavia disebabkan force majeur, yaitu kalah tender pelayanan transportasi ibadah haji dan umroh ini. Hal ini menjadi biang kerok tersendatnya pembayaran. Karena pesawat yang disewa tersebut diperuntukkan melayani penumpang yang hendak melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah-Madinah. Sehingga, sumber pembayaran sewa pesawat berasal dari pelayanan penumpang yang melakukan ibadah haji dan umrah.
Majelis tak mengalami kesulitan memutuskan perihal keberadaan utang ini. Batavia Air dengan tegas mengakui utang tersebut. Alhasil, pengakuan tersebut menjadi bukti yang sempurna di persidangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 164 HIR. “Sehingga, utang tersebut tidak perlu dibuktikan lagi,” ucap Ketua Majelis Hakim Agus Iskandar, Rabu (30/1).[19]
ANALISIS KASUS
Dari kasus yang terjadi, berdasarkan UU No. 37 tahun 2004 tentang kepailitian, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menyatakan pailit pada PT Metro Batavia. Keputusan pailit PT. Metro Batavia disebabkan oleh utang sebanyak USD 4,68 juta yang sudah lewat jatuh tempo namun tidak kunjung di bayar. Tuntutan pailit ini telah diajukan semenjak 20 Desember 2012 dan diputuskan pada tanggal 30 Januari 2013.
Penutupan Batavia Air pada tanggal 30 Januari ini merupakan salah satu kejadian yang paling menyedihkan bagi industri penerbangan Indonesia. Di tengah pertumbuhan transportasi udara yang cukup tinggi di Indonesia, Batavia Air malah menjadi terpuruk. Permohonan pailit Batavia Air diajukan oleh International Lease Finance Corporation (ILFC) kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Melihat kasus yang terjadi yang menimpa batavia airlines adalah preseden buruk bagi konsumen penerbangan di Indonesia, belajar dari kasus yang ada, Adam Air dan Mandala air penutupan operasi maskapai selalu menempatkan konsumen sebagai korban.
Batavia Air telah dinyatakan pailit karena tak mempu melunasi utang-utang dalam jutaan Dollar itu yang muncul akibat perjanjian perbaikan pesawat yang tertuang dalam agreement on Overhaul and repair pada 19 April 2007 dan 12 Mei 2008.[20] Memang tak dapat dipungkiri bahwa penggunaan utang sebagai modal operasional atau pun ekspansi usaha merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan oleh lembaga atau perusahaan. Menumpuknya utang oleh Batavia Air karena ketika jatuh tempo pelunasan utang, yang terjadi adalah ketidakmampuan. Dalam hal ini, menumpuknya utang mungkin saja disebabkan lemahnya aspek manajemen keuangan dalam tubuh Batavia Air. Karena bagaimana pun kasus pailitnya Batavia Air diduga disebabkan oleh utang. Apabila dikaji dari perspektif keuangan maka pailitnya Batavia Air mendeskripsikan pengelolaan keuangan yang kurang bagus yang mana dapat terindikasi dari kemampuan menghasilkan nilai lebih dari utang atau biasanya disebut sebagai cost lebih besar dari benefit. Terlebih sebagai perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki kewajiban untuk memberikan laporan keuangannya secara publik, sehingga dalam hal ini juga sulit untuk memberikan dan menyimpulkan kondisi keuangan Batavia Air.
Dari kasus pailitnya Batavia Air dapat dipahami bahwa ada celah pemasukan dan pengeluaran potensi bisnis yang tidak pasti. Oleh karena itu, pemanfaatan celah pasar yang diharapkan pihak manajemen Batavia Air tidak berjalan sesuai rencana.
Proses Penyelesaian Pailit oleh Kurator
Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Pasaribu, dan Alba Sumahadi. Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta Pusat. Beberapa aktifitas yang sudah terjadwal[21]:
- 15 Feb 2013-Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pukul 09:00.
- 18 Feb 2013-Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk mengajukan tagihan kreditur dan pajak di Kantor Kurator.
- 18 Feb-1 Maret 2013-Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri sebagai kreditur Batavia Air.
- 14 Maret 2013-Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator.
Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator Batavia Air (Turman Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian tiket calon penumpang dapat dilakukan dengan syarat ada investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang tiket untuk bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.[22]
Kreditur separatis, apakah ada hal2 yg mnybabkan tdak trpenuhi hak2nya dalam
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan intisari permasalahan, adalah sebagai berikut
1. Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan. Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
2. Pengurus perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan, jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian dari pengurus perseroan. Namun pengurus tidak dapat dibebani tanggung jawab apabila dapat membuktikan kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.
B. Saran
1. Sebaiknya kementerian perhubungan menerapkan klasifikasi kesehatan perusahaan penerbangan. Perlu ada kategori airline dalam kondisi pengawasan khusus dan dilakukan pembatasan kegiatan usaha, sebelum airline ditutup atau berhenti beroperasi. Dalam reformasi hukum kepailitan, perlu adanya pendekatan yang berbeda dalam menangani perkara kepailitan untuk perusahaan yang bergerak di bidang pelayangan publik. Sama halnya di sektor keuangan, dimana untuk menyatakan pailit perlu ada persetujuan dari otoritas keuangan (kementerian keuangan dan Bank Indonesia). Sudah waktunya prinsip yang sama di terapkan di sektor perhubungan. Untuk menyatakan sebuah operator jasa transportasi dinyatakan pailit perlu ada persetujuan dari Kementrian Perhubungan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
Munir Fuady, 1999, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung.
M. Yahya Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang.
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta.
Sofjan Sastrawidjaja, 1996, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung.
Zaeni Asyhdie, 2005, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Kamus
Daryanto, 1997, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya.
Kamus Hukum Ekonomi, 1997, ELIPS.
JURNAL
Adi Nugroho Setiarso, 2013, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnal tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Ari Purwandi, 2011, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah, Jurnal tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma Surabaya, Surabaya.
INTERNET
Batavia Air Pailit, (online), http://ekonomi.kompasiana.com, (14 November 2013).
Batavia Langsung Ganti Tiket, (online), http://bangka.tribunnews.com, (16 November 2013).
Happy Rayna Stephanny, Batavia Air Pailit (online), http://www.hukumonline. com, (14 November 2013).
Tim Kurator Mulai Data Utang Batavia, (online), http://www.merdeka.com, (16 November 2013)
[1] Daryanto, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, hlm 455.
[2] Kamus Hukum Ekonomi, ELIPS, 1997, hlm 105.
[3] Ari Purwandi, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah, Jurnal tidak diterbitkan, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma Surabaya, 2011, hal 129.
[4] Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnat tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013, hlm. 3.
[5] Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 1.
[6] Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 135
[7] Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta,2009, hlm 24.
[8] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2007, hlm 16.
[9] Penulis menafisrkan tentang syarat-syarat yang ada pada pasal 2 UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
[10] Opcit, hlm 74.
[11] Ibid, hlm 74.
[12] Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 91.
[13] Rahayu Hartini,Opcit, hlm 126-127.
[14] Rahayu Hartini,Opcit, hlm 175-186.
[15] Jono, Opcit, hlm 107-108.
[16] S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 160-161.
[17] Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung, 1996, hlm. 214.
[18] M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 463.
[19] Happy Rayna Stephanny, Kamis, 31 Januari 2013, Batavia Air Pailit (online), http://www.hukumonline.com, (14 November 2013).
[20] Batavia Air Pailit, (online), http://ekonomi.kompasiana.com, (14 November 2013).
[21] Tim Kurator Mulai Data Utang Batavia, (online), http://www.merdeka.com, (16 November 2013).
[22] Batavia Langsung Ganti Tiket, (online), http://bangka.tribunnews.com, (16 November 2013).