BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf
merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan umat islam. Ia
merupakan unsur spiritual dari ajaran islam yang menyebabkan kehidupan
lebih bermakna. Tasawuf memang belum terdefinisikan secara tegas dimasa
awal ke;ahiran islam. Namun, indikasi adanya tasawuf sudah dirasakan
sejak zaman Nabi. Tasawuf berkembang setelah islam tersebar keberbagai
pelosok dunia, bahkan kemudian menjadi unsur yang dominan dalam islam.
Makalah
ini merangkum hal-hal yang berkaitan dengan tasawuf, mulai dari
tokoh-tokoh yang merumuskan dasar-dasarnya, pandangan mereka tentang
hakikat hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, pengaruh terhadap
kehidupan politik umat islam, hingga perkembangannya dewasa ini.
BAB II
PEMBAHASAN
ASAL-USUL ISTILAH TASAWUF DAN DASAR-DASAR QUR’ANINYA
A. PENGERTIAN TASAWUF SECARA LUGHAWI
Barmawie Umarie, mengatakan bahwa belum ada yang menggoyahkan pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari wazan (timbangan) tafa’ul, yaitu: tafa’ala-yatafa’alu-tafa’ulan dengan imbangannya, yaitu tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan.
Barmawie Umarie lebih lanjut menegaskan bahwa tasawuf dapat berkonotasi makna dengan “tashawwafa al-Rajulu”, artinya: seorang laki-laki telah men-tasawwuf.
Maksudnya, seorang laki-laki telah pindah dari kehidupan biasa menuju
kehidupan sufi. Apa sebabnya? Sebab para sufi, bila telah memasuki
lingkungan tasawuf, mereka mempunyai simbol-simbol pakaian dari bulu,
tentunya belumlah wol, melainkan hampir-hampir menyamai goni dalam
kesederhanaannya. [1]
B. PENGERTIAN TASAWUF BERDASARKAN ISTILAH
Ilmu tasawuf
adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang
memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju
keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh
pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan
diri dan mencapai keridhaan-Nya, (Harun Nasution, 1992: 58)
C. DASAR-DASAR TASAWUF DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS
1. Landasan Al-Qur’an
Secara
umum, ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan
batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada
gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf
ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam,
Al-Qur’an dan As-sunnah serta praktek kehidupan nabi dan para
sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia
dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Tuhan. Hal itu misalnya difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54 yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi
maha mengetahui”.
Kalau
kita teliti lebih mendalam semua tingkatan dan keadaan yang dilalui
para sufi (yang ada pada dasarnya merupakan objek tasawuf), kita banyak
menemukan landasannya dalam Al-Qur’an. Berikut ini akan kami kemukakan
ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan sebagian tingkatan dan keadaan
para sufi.
Tingkatan zuhud,
misalnya (yang banyak diklaim sebagai awal beranjaknya tasawuf), telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 77 yang artinya:
“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sementara, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa”.
Sementara tingkatan takwa berlandaskan pada firman Allah pada surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”.
Tingkatan tawakal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allah antara lain surat At-Thalaq ayat 3 yang artinya:
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupkan (keperluan)nya”;
dan surat Az-Zumar ayat 39 yang artinya:
“Dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman itu bertawakal”.
Tingkatan syukur antara lain berlandaskan kepada firman Allah surat Ibrahim ayat 7 yang artinya:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu”.
Tingkatan sabar berlandaskan pada firman Allah surat Al-M’minun ayat 55 yang artinya:
“Maka
bersabarlah kamu karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan
mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu
pada waktu petang dan pagi”.
dan surat Al-Baqarah ayat 155 yang artinya:
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.
Tingkatan rida berdasarkan pada firman Allah surat Al-Maidah ayat 119 yang artinya:
“Allah rida terhadap mereka, dan merekapun rida terhadap-Nya”.
2. Landasan Hadis
Dalam
kehidupan Nabi Muhammad SAW. Juga terdapat petunjuk yang menggambarkan
bahwa beliau adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah
mengasingkan diri ke Gua Hira
menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang
pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam di
dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan
segala cara.
Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid.
Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan,
tidak makan atau minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa
beribadah kepada Allah.[2]
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF: KONTAK KEBUDAYAAN HINDU, PERSIA, YUNANI, DAN ARAB
A. UNSUR NASRANI (KRISTEN)
Bagi mereka yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumentasinya pada dua hal: pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliah maupun zaman islam. kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.
Dalam
literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang
mengasingkan diri di Padang Pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di
malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah-kafilah yang lewat. Kemah
mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang
kemalaman, dan mereka memberikan makanan bagi musafir yang kelaparan.
Atas dasar hal ini, ada yang mengatakan bahwa zahid
dan sufi Islam ketika meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan
mengasingkan diri, serta dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen
ini.[3]
Pokok-pokok ajaran tasawuf yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah:
1. Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius, “Beruntunglah
kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah...
Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang”.
2. Tawakal
kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan
dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatakan dalam Injil, “perhatikan
burung-burung di langit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan
tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit memberi
kekuatan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?”
3. Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta. Perbedaanya pendeta dapat menghapuskan dosa.
4. Selibasi, yaitu menahan diri tidak menikah karena menikah dianggap dapat mengalihkan diri dari Tuhan.
5. Penyaksian,
bahwa sufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan
Allah. Injil pun telah menerangkan terjadinya hubungan langsung dengan
Tuhan.[4]
B. UNSUR HINDU-BUDHA
Tasawuf
dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap
fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi
(perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari
dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat
Allah.
Namun,
Qamar Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak
pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha.
Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalu diterima bahwa ajaran
tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad
telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang
sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
C. UNSUR YUNANI
Kebudayaan Yunani, seperti filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah
ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani. Dikalangan
penerjemah ternama, terdapat seorang tabib Nestori (Kristen) bernama
Jurjis bin Bakhtisy (George Bakhtishu, wafat 771 M). Khalifah Al-Mansur
mengundangnya ke Yundi Shapur untuk dijadikan tabib pribadinya. Di
samping jabatan itu, ia juga aktif dalam kegiatan penerjemahan.
Dengan
kegiatan penerjemahan, banyak buku-buku filsafat, di samping buku-buku
lainnya, yang dipelajari umat islam. ini dapat diartikan sebagai proses
pengenalan umat Islam pada metode berpikir yang filosofis. Metode-metode
berpikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian orang
Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh
jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian
diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat
dilihat dari pikiran Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam
uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf
dari Abu Yazid, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain
sebagainya.
Apabila
diperhatikan, cara kerja filsafat adalah mengukur segala sesuatu
menurut akal pikiran. Namun, dengan munculnya filsafat aliran
Neo-Platinisme, filsafat lebih menjauhi wewenang akal dan mulai
menyentuh hal yang lebih metafisik atau supra-natural, terutama dalam
persoalan pengenalan diri manusia di hadapan Tuhan. Ungkapan
Neo-Platoisme, misalnya, “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan, “Siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. Hal ini bisa jadi mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat Al-Wujud.
Tidak dapat diasingkan lagi bahwa cara berpikir kelompok Neo-Shopi
(Sufi berketuhanan dan filosof), seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan
Al-Hallaj, banyak dipengaruhi oleh filsafat.[5]
D. UNSUR PERSIA
Sebenarnya
Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang
politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan
argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah
masuk ke tanah Arab. Yang jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke
Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf.
Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Sejak zaman klasik, bahkan hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke-fana-an
diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang penganjurnya adalah
seorang ahli mistik dari Persia, yakni Bayazid dari Bistam, yang telah
menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).
Seorang
orientalis moderat, Reynold A. Nicholoson, menolak adanya generalisasi
yang menganggap bahwa tasawuf sebenarnya merupakan bentuk reaksi
pemikiran Arya terhadap agama Semit, yang hasilnya adalah adanya
pemikiran India atau Persia. Pernyataan semacam ini, walaupun benar
sebagiannya, telah mengabaikan prinsip bahwa dalam menetapkan kaitan
historis antara fakta-fakta A dan B tidaklah cukup dengan mengemukakan
kesesuaiannya antara satu dengan lainnya, tanpa menunjukkan:
1. Hubungan nyata antara B dengan A sedemikian rupa, sehingga memiliki kemungkinan keterkaitan, dan;
2. Hipotesis yang mungkin bersesuaian dengan fakta-fakta yang diperoleh dan yang relevan.
Nicholoson
menambahkan, apabila sufisme hanyalah sebuah revolusi dari semangat
Arya, bagaimana kita dapat menjelaskan fakta yang tidak diragukan lagi
bahwa sebagian besar perintis terkemuka dari mistik Islam ini adalah
orang-orang yang berasal dari Syria dan Mesir, yang secara ras adalah
orang-orang Arab?
Demikian
pula, orang yang mengemukakan adanya pengaruh agama Budha dan Hindu, ia
melupakan satu fakta penting bahwa pengaruh (budaya) India terhadap
peradaban Islam baru terjadi agak belakangan, yakni tatkala Ilmu Kalam
(teologi), filsafat, dan sains di kalangan umat Islam telah berhasil
menunjukkan keunggulannya ketika lahan budaya yang ada telah jenuh
dengan budaya Hellenistik.
E. UNSUR ARAB
Selama
masa Rasulullah hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M),
selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji
setia dan praktek ibadah tasawuf. Pada tahun 657 M, ‘Uways Al-Qaranini
(wafat 657 M) mengadakan pertemuan besar pertama kaum sufi. Untuk
mengenang dan menghormati Nabi Muhammad yang kehilangan dua buah giginya
di Perang Uhud, ia mencabut giginya sendiri dan mengajak segenap pengikutnya untuk melakukan hal serupa.
Untuk
melihat sejarah tasawuf, perlu ditinjau perkembangan peradaban Islam
sejak zaman Rasulullah. Hal ini karena pada hakekatnya kehidupan rohani
telah ada pada diri beliau sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan
upayanya untuk menghindari bentuk-bentuk kemewahan sudah tumbuh sejak
Islam datang. Ini tergambar dalam kehidupan Rasulullah dan para
sahabatnya yang berada dalam suasana kesederhanaan. Banyak hadis dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasul sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohani.
Dalam
perjalanan sejarahnya, benih-benih tasawuf mulai mengkristal dan mulai
terlihat pada seorang tabi’in bernama Hasan Al-Bashri yang benar-benar
mempraktekkannya. Di masa hidupnya, ia terkenal sebagai orang yang
berpegang teguh pada Sunah Rasul dalam menilai setiap masalah rohaniah.
Ia mendasarkan pikirannya pada rasa “takut” kepada Allah, tetapi tidak
terlepas dari rasa “harap” atas kasih Allah, sehingga keseimbangan
antara sikap takut dan harap selalu terwujud. Dengan istilah lain, Hasan
Al-Bashri berpegang teguh pada khauf dan raja’. Khauf dan raja’ inilah yang pada perkembangan selanjutnya menjadi salah satu ajaran dalam tasawuf.[6]
SEJARAH PERKEMBANGAN
TASAWUF SALAFI (AKHLAQI), FALSAFI, DAN SYI’I
A. PERKEMBANGAN TASAWUF AKHLAQI DAN FALSAFI
Dalam
sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu
tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang
mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam.
Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering
disebut sebagai tasawuf akhlaqi.
Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum
salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai
tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.
Pembagian
dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecenderungan ajaran yang
dikembangkan, yakni kecenderungan pada perilaku atau moral keagamaan dan
kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus berkembang
hingga mempunyai jalan sendiri-sendiri. Untuk melihat perkembangan
tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu ditinjau lebih jauh tentang
gerak sejarah perkembangannya.
Pada
mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna
institusi-institusi Islam. sejak zaman sahabat dan tabi’in,
kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih
analitis sudah muncul. Ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu
aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah (spiritual),
atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan pengalaman aspek
“dalamnya” mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa
mengabaikan aspek “luarnya” yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa.
Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek “dalam”, yaitu
cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan Tuhan, dan kebebasan
dari egoisme.
Pada
abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan
doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan
moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu
sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral
keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral,
akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan
dengan akhlak.
Kajian
yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai
amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang.
Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau
alur berpikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya
banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada
realitas pengalaman Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku
manusia yang terpuji.
Kaum
salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan
akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan
batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran
untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah
kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak diterima sepenuhnya
oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengalaman ajaran Islam hingga
aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksikan
ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya, mereka menanamkan
kembali akhlak mulia. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak.
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yakni tasawuf akhlaki. Kemudian, tasawuf akhlaki ini identik dengan tasawuf Sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf Sunni
dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memagari
tasawufnya dengan Al-Qur’an dan As-Sunah. Dengan demikian, aliran
tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawuf Sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak, dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
B. AJARAN TASAWUF AKHLAQI
1. Takhali
Takhali
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela. Salah
satu akhlak tercela yang paling banyak pada kenikmatan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak terpuji.
Sikap
mental dan perbuatan baik yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa
manusia dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia
paripurna, antara lain berikut:
a. Tobat
b. Cemas dan harap (khauf dan raja’)
c. Zuhud
d. Al-Farq
e. Al-Shabru
f. Rida
g. Muraqabah
3. Tajalli
Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib.
C. TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF FALSAFI SERTA KARAKTERISTIKNYA
1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan Al-Sunah
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat
3. Lebih bersifat mengerjakan dialisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia
4. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at
5. Lebih
terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan
jiwa dengan cara riyadah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli
dan tajalli.[7]
KERANGKA BERPIKIR IRFANI:
DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT
A. MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF
1. Tobat
2. Zuhur
3. Faqr (fakir)
4. Sabar
5. Syukur
6. Rela (rida)
7. Tawakal
B. HAL-HAL YANG DIJUMPAI DALAM PERJALANAN SUFI
1. Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan Murawabah)
Waspada
(muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa Allah mengetahui segala
pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi
hormat, takut dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (muraqabah)
adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai
atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
2. Cinta (huBb)
Mahabbah
pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap
hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah
adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau
kecantikan.
3. Berharap dan takut (Raja’ dan Khauf)
Dalam surat al-baqarah ayat 218
Artinya :
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad di jalan Allah,
mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat Allah. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu :
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya
b. Takut bila harapannya hilang
c. Berusaha untuk mencapainya
Khauf
adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang
akan menimpa diri si masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba
berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf
menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf
yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan perimis. Begitu juga
sebaliknya, apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu akan
membuat seseorang menjadi sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena
optimisnya yang berlebihan.
4. Rindu (Syauq)
Yakni
rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan, ada orang yang mengatakan
bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar dan lupa kepada Allah lebih
berbahaya daripada maut.
5. Intim (Uns)
Dalam pandangan kaum sifu, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi.
C. METODE IRFANI
Untuk memperoleh kearifan atau ma’rifah, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Arabi dalam Fushus Al-Hikam-nya:
“Qalb
dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia
pun berfungsi sebagai alat untuk ma;rifat dan menjadi cermin yang
memantulkan (tajalli) makna-makna kegaiban.”
1. Riyadhah
Riyadhah
yang sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik, adalah latihan
kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal
yang mengotori jiwanya.
Para
sufi menggolongkan riyadhah sebagai pelatihan kejiwaan dalam upaya
meninggalkan sifat-sifat buruk termasuk di dalamnya adalah pendidikan
akhlak dan pengobatan penyakit hati.
2. Tafakur
Tafakur penting dilakukan bagi mereka yang meninginkan ma’rifat sebab, tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur)
dan menganalisisnya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Menurut
Al-Ghazali, orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi Al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapat ilham.
3. Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli.
4. Dzikrullah
Secara etimologi, zikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah.[8]
HUBUNGAN TASAWUF
DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIQIH, DAN ILMU JIWA
A. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIQIH, DAN ILMU JIWA
Ilmu Kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan.
Pada Ilmu Kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara itu, pada Ilmu Tasawuf
ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan
keyakinan dan ketenteraman, serta upaya untuk menyelamatkan diri dari
kemunafikan.
B. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH
Ilmu
tasawuf mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan
hukum-hukum fiqih. Alsannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan
sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
C. KETERKAITAN ILMU TASAWUF DENGAN FILSAFAT
Ilmu
tasawuf yang berkembang di dunia islam tidak dapat dinafikan dari
sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam
kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur harus
diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya
terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat.
Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa
dan roh, diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan
Al-Ghazali.
D. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU JIWA (TRANSPERSONAL PSIKOLOGI)
Dalam
pandangan akum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis
jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya
adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, perilaku yang tampiladalah
perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah perilaku insani pula.
Kalau
para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia,
berarti bahwa hakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada
unsur spiritual atau kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam
konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur
jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat
memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada
Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. seseorang tidak akan mungkin
sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama
jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan
kepada kehidupan rohani yang baik. Pandangan kaum sufi mengenai jiwa
berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian
dari ilmu jiwa (Psikologi).
TASAWUF AKHLAKI
Menurut
Amin Syukur, ada dua aliran dalam tasawuf. Pertama, aliran tasawuf
sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan
Al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat
(tingkat rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut. Kedua, aliran
tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat
kompromi, dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan
dengan tasawuf.
Berikut ini adalah contoh sufi beserta ajarannya yang termasuk dalam aliran tasawuf akhlaki.
A. HASAN AL-BASHRI
1. Riwayat Hidup
Hasan
Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah
seorang zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 21 H (632 M), dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab
tanggal 10 tahun 110 H (728 M).
2. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Berkaitan
dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri
didasari oleh kebesaran jiwa akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang
mendasari tasawufnya itu. Sikap itu senada dengan sabda Nabi yang
berbunyi, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah
dilakukannya adalah laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar
yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
B. AL-MUHASIBI: PANDANGAN TASAWUFNYA
Al-Harits
bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak
keluar dari keraguan yang dihadapinya. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan
keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah,
melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah.
1. Pandangan Al-Muhasibi tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi
berbicara pula tentang ma’rifat. Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat
harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan
sunnah.
Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:
a. Taat.
Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret
ketaatan hamba kepada Allah. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah
hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan
semata.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c. Pada
tahap ketiga ini Allah menyingkap khazanah-khazanah keilmuan dan
kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia
akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’.
Dalam
pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan)
menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa.
Khauf
dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Raja’ dalam pandangan
Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal saleh, berhak mengharap pahala
dari Allah.
C. AL-QUSYAIRI
1. Riwayat Hidup Al-Qusyairi.
Nama
lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 di
Istiwa. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq,
seorang sufi terkenal. Sang guru menyarankan untuk mengawasinya dengan
mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqih
pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (w. 405 H).
Dari situlah Al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlus Sunah wal
Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah
pembela paling tangguh dari aliran tersebut dalam menentang doktrin
aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah.
Menurut
Ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan
syari’at dengan akidah. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
Seandainya
karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam,
akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf
ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah.
Tampak
jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat
dilakukan dengan merujuknya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu
dengan mengikuti para sufi sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah
sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
Dalam
hal ini jelas bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan
Al-Ghazali, yang beralifiasi pada aliran yang sama, yaitu
Al-Asy’ariyyah, yang nantinya merujuk pada gagasan Al-Qusyairi itu serta
menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibi maupun Al-Junaidi, serta
melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan
ungkapan yang ganjil.
D. AL-GHAZALI
1. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Al-Ghazali dilahirkan di
Ghazlah, Iran pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk
mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Menurut
Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai
mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Ia
mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang. Dengan demikian, setiap
tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil. Karya-karya itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang pemikir kelas dunia yang sangat berpengaruh.
2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di
dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan
Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan
gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran
Syiah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lain.
Corak
tasawuf Al-Ghazali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan
moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti Ihya ‘Ulum
Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj
Al-Salikin, Ayyuhal Walad.
Al-Ghazali
menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa,
hingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan (sa’adah)
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut
Al-Ghazali, sebagaimana telah dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat
adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan
tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir,
qalb, dan roh.
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut
Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat
Allah (ru’yatullah). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan
bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat).
Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata
terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Kenikmatan qalb
–sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak ketika melihat Allah.
Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung dan mulia.
Kelezatan
dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah
manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan
bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati
karena qalb dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[9]
TASAWUF IRFANI
A. RABIAH AL-ADAWIAH
1. Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyah.
Nama
lengkap Rabi’ah Al-Adawiyah adalah Rabi’ah bin Ismail Al- Al-Bashriyah
Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/ 717
M disuatu perkampungan dekat Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada
tahun 185 H/ 801 M.
Ia
dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin.
Kedua orang tuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Konon pada
saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan
dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini ia
dikenal dengan Al-Qaisiyah dan Al-Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja
keras, namun kemudian dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang
memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada
saat ia sedang beribadah. Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup
menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah.
2. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah
Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam Islam tercatat sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Rabi’ah pula yang
pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Untuk
memperjelas pengertian Al-hubb yang diajukan Rani’ah yaitu hub Al-hawa
dan hub anta ahl lahu. Hub Al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari
nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Hub Al-hawa yang
ditunjukkan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan
berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini karena
Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada
dibalik nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang
tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai.
Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa.
Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta
kepada Dzat yang dicintai.
B. DZU AL-NUN AL-MISHRI
1. Riwayat Hidup Dzun Al-Mishri
Nama
lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim
pada tahun 180 H/ 796 M dan wafat pada tahun 246 H/ 856 M. Jilukan Dzu
An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya
yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya ia pernah mengeluarkan seorang
anak dari perut buaya di Sungai Nil dalam keadaan selamat atas
permintaan ibu dari anak tersebut.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Dzu Al-Mishri
Pengertian
Ma’rifat Menurut Dzu Al-Nun Al-Mishri, Ma’rifat sebenarnya adalah
musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah
dalam hati manusia sejak azali. Al-Mishri menjelaskan bahwa ma’rifat
kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan
menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua
yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi
3. Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri tentang Maqamat dan Ahwal.
Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai
berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.
Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai
perasaan tidak memiliki kekuatan.
Berkenaan
dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan)
sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Menurutnya tanda-tanda orang-orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW.
C. ABU YAZID AL-BUSTAMI
1. Riayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami,
lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. nama kecilnya adalah
Taifur.
Dalam
menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di
gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang
sedikit sekali.
2. Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran
tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa
fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam
istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang
luhur. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ dicapai setelah meninggalkan
segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Adapun
baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap,
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat
terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham
fana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang
sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
D. ABU MANSHUR AL-HALLAJ
1. Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama
lengkapnya adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad
Al-Baidhawi, lahir di Baida, Persia pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh
dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar
pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah At-Tusturi
di Ahwaz.
Ucapan
Al-Hallaj “ana al-haqq” yang tidak dapat dimaafkan para ulama fiqih dan
dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkapnya
dan memenjarakannya setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hajj
dihukum gantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu
dipenggal kepalanya. Namun sebelum dipancung, ia meminta shalat dua
rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya
digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai,
sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Dan
akhirnya Al-Hajj wafat pada tahun 922 M.
2. Ajaran Tasawuf Al-Hajj
Diantara
ajaran tasawuf Al-Hajj yang paling terkenal adalah Al-hulul dan wahdat
Asy-syuhud. Kata Al-hulul berdasarkan pengertian bahasa, berarti
menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, Al-hulul
berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Persatuan
antara Tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk
hulul. Dengan demikian, agar dapat bersatu, manusia harus terlebih
dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat
kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam
dirinya, disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu
roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.[10]
TASAWUF FALSAFI
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi
mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki,
tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya
serta berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya.
Menurut
At-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah Iaslam
sejak abad ke-6 H meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian.
Menurut beliau, ciri umum tasawuf tasawuf adalah ajarannya yang
samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami
oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi
tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula
dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena
ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih
berorientasi pada pantheisme.
Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi ini adalah Ibn Arabi, Al-jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn’Masarrah.
A. IBN ARABI
1. Biografi Singkat
Nama
lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah
Ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol,
tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Namanya
biasa disebut “Al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi,
seorang qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Seville (Seville),
ia mempelajari Al-Qur’an, hadist serta fiqih pada sejumlah murid
seorang fakih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hamz Al-Zhahiri.
Ketika
berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan
kawasan Islam bagian barat. Di antara gurunya tercatat nama-nama,
seperti Abu Madyan Al-Ghauts Al-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah(seorang
wali dari kalangan wanita). Diantara karya monumentalnya adalah Al-futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji.
2. Ajaran-ajaran tasawufnya.
Ajaran sentral Ibn ‘Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan
wujud) namun ajaran ini berasal dari Ibnu Taimiyah. Menurut Ibnu
Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam.
Menurutnya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud mengatakan
bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud itu
sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut
Ibn ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah
adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang
disebut khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluki. Tidak ada
perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang
disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu.
Perbedaan itu hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.
Menurut Ibn ‘Arabi, tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut :
1. Tajalli Dzat tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
2. Tanuzul Dzat tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (realitas-realitas rohaniah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4. Tanazul tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5. Alam materi, yaitu alam inderawi.
B. AL-JILLI
1. Riwayat hidup
Nama
lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada
tahun 1365 M. Di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan
kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Beliau pernah belajar tasawuf di
bawah bimbingan Abdul Qadir A-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin
tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula
pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (yaman)
pada tahun 1393-1403 M.
2. Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran terpentingnya adalah paham Insan kamil(manusia
sempurna), menurutnya insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan.
Al-jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan tuhan dengan insan
kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya
kecuali dengan cermin itu. Demikian pula dengan insan kamil, ia tidak
dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama tuhan, sebagaimana
tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil.
Berkaitan
dengan insan kamil, Al jilli merumuskan beberapa maqam yang harus
dilalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut Al-
Martabah(jenjang/tingkatan). Martabah-martabahnya sebagai berikut :
1. Islam
2. Iman
3. Ash-Shalah
4. Ihsan
5. Syahadah
6. Shidduqiyah
7. Qurbah
C. IBN SAB’IN
1. Riwayat hidup
Nama
lengkap Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr,
seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Beliau dipanggil Ibn
Sab’in dn digelari Quthbuddin. Terkadang dikenal pula dengan Abu
Muhammad. Beliau di lahirkan tahun 614 H (1217-1218 M) dikawasan Murcia
dan meninggal tahun 611 H. Beliau berguru pada Ibn Dihaq. Dan beliau
meninggalkan karya sebanyak 41 buah.
2. Ajaran tasawufnya
Beliau adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak.
Gagasan
esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud
Allah semata. Wujud-wujud ,lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri.
D. IBN MUSARRAH
1. Riwayat hidup
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Masarrah (269-319 M). Beliau adalah seorang sufi dari Andalusia.
2. Ajaran tasawufnya
Ajarannya adalah sebagai berikut :
a. Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
b. Dengan
penakwilan ala philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat Al
qur’an, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
TAREKAT: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
A. PENDAHULUAN
Asal
kata tarekat dalam bahasa arab ialah “thariqah” yang berarti jalan,
keadaan, atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang di tempuh
sufi. Pembahasan tasawuf ini mengacu pada pengertian tarekat yang
terakhir, yaitu tarekat sebagai organisasi sufi.
B. HUBUNGAN TAREKAT DENGAN TASAWUF
Sebagaimana
telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan
diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan
memperbanyak ibadah. Uasaha
mendekatkan diri ini biasanya dilakukan dibawah bimbingan seorang
Syaikh/guru. Ajaran tasawuf yang harus ditempuh yang harus ditempuh
untuk mendekatkan diri itu kepada Allah, sedangkan tarekat itu adalah
cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri
kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan beberapa variasi tertentu, sesuai
dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya.
C. SEJARAH TIMBULNYA TAREKAT
Dari
segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai
suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun, Harun Nasution
menyatakan bahwa setelah Al Ghazali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya
dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia islam, tetapi
perkembangannya melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikut
sufi-sufi besar bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf
gurunya. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yangn disebut ribat (disebut
zawiyah, hangkah dan pekir). Ini merupakan tempat para murid berkumpul
melestarikan ajaran tasawufnya, ajaran walinya, dan ajaran tasawuf
syaikhnya.
Pada
awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu khurasan
(iran) dan Mesopotamia (irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa,
yakni:
1. Tarekat yasaviyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasavi.
2. Tarekat Naqsabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awasi Al-Bukhari.
3. Tarekat khalwatiyah yang didirikan oleh umar Al Khalwatiyah.
4. Tarekat safawiyah yang didirikan oleh Safiyudin Al Ardabili.
5. Tarekat Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan.
D. PENGARUH TAREKAT DI DUNIA ISLAM
Tarekat
mempengaruhib dunia islam mulai dari abad ke-13. Kedudukan tarekat pada
saat itu sama dengan parpol (Partai Politik). Bahkan, banyak tentara
juga menjadi anggota tarekat. Penyokong tarekat Bektashi,dibubarkan
oleh Sultan Mahmud II, tentara Turki yangh disebut jenissari
menentangnya. Jadi, tarekat tidak hanya bergerak dalam persoalan agama,
tetapi juga bergerak dalam persoalan dunia yang mereka pikiran.
Disamping
itu, tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan
dunia. Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia
ini karena “ Dunia ini adalah bangkai dan yang mengejar dunia adalah
anjing.”[12]
TASAWUF DI INDONESIA
A. HAMZAH AL-FANSURI
1. Riwayat hidup
Nama Hamzah Al-Fansuri tidak asing lagi di kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman di Indonesia.
2. Ajaran tasawufnya
Pemikiran-pemikiran
Al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn ‘Arabi dalam dalam
paham wahdat wujudnya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan bahwa tuhan
lebih dekat daripada leher manusia sendiri, dan bahwa tuhan tidak
bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa ia ada di mana-mana.
B. NURUDDIN AR-RANIRI
1. Riwayat hidup
Ar-Raniri
dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat,
India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-hamid
Al-Syafi’i Al-Syafi’i Al-raniri.
Diantara karya-karya yang pernah di tulis Ar-Raniri adalah :
a. Ash-Shirah Al-Mustaqim
b. Bustam As-Salatin fi Dzikr Al-awwalin wa Al-Akhirin
c. Durrat Al-Fara’idh bi Syarhi Al-Aqa’id
d. Syifa’ Al-Qulub
2. Ajaran tasawufnya.
a. Tentang tuhan
Beliau berpendapat bahwa ungkapan “ wujud Allah dan Alam Esa”.
b. Tentang Alam
Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini di ciptakan Allah melalui tajalli.
c. Tentang manusia
Menurut Ar-raniri,
bmanusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini
sebab manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai
dengan citranya.
d. Tentang wujudiyyah
Inti
ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniri, berpusat pada wahdat Al-wujud,
yang disalah artikan kaum wujudiyyah dengan arti kemanunggulan Allah
dengan alam.
e. Tentang hubungi Syari’at dan Hakikat
Pemisahan
antara syari’at dan hakikat, menurut Ar-Raniri, merupakan sesuatu yang
tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa
pendapat pemuka sufi, di antara adalah
Syekh Abdullah Al-Aidrusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju
Allah, kecuali melalui syari’at yang merupakan pokok dan cabang islam.
C. SYEIKH ABDUR RAUF AL-SINKILI
1. Riwayat Hidup
Abdur
Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti besar Kerajaan Aceh pada
abad ke-17 (1606-1637). Nama lengkapnya adalah Syeikh Abdur Rauf bin
Ali Fansuri. Sejarah telah mencatat bahwa As-Sinkili merupakan murid
dari dua orang ulama sufi yang menetap di mekah dan madinah. Ia sempat
menerima bai’at tarekat Syathariah di samping ilmu-ilmu Sufi yang lain,
termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan byang ada
hubungan dengannya.
2. Ajaran tasawufnya
As-sinkili
berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at. Ajaran tasawufnya
sama dengan Syamsuddin dan Naruddin, yaitu menganut paham satu-satunya
wujud hakiki, yakni Allah. Alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud
hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa
Allah berbeda dengan alam.
Zikir, dalam pandangan As-Sinkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa.
D. SYEIKH YUSUF AL-MAKASARI
1. Riwayat hidup
Syeikh
yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari
Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H. Pengetahuan
tarekat yang dipelajarinya cukup banyak bahkan melebihi ulama-ulama di
masanya maupun masa kini. Secara ringkas tarekat-tarekat yang telah
dipelajarinya adalah berikut ini:
a. Tarekat Qadiriyah diterima dari Syeikh Nuruddin Al-Raniri di Aceh.
b. Tarekat Naqsabandiyah diterima dari Syeikh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah.
c. Tarekat As-Saadah Al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di Zubeid/Yaman.
d. Tarekat Syathariyah diterimanya dari Ibrahim Al Kurani Madaniah.
e. Tarekat Khalwatiyah diterima dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Al-khalwati Al-Quraisyi di Damsyiq. Syeikh ini adalah imam di Mesjid Muhyiddin Ibnu Arabi, dan lain-lain.
2. Ajaran tasawufnya.
Berbeda
dengan kecenderungan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan
kehidupan duniawi. Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya
bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran isalm meliputi dua aspek, yaitu
aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat
harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan. Menurutnya,
kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu tidaklah
harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju tuhan. Gejolak
hawa nafsuharus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri
atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia.
Berkenaan dengan cara-cara menuju tuhan, ia membaginya dalam 3
tingkatan.
Pertama,
tingkatan akhyar (orang-orang terbaik), yaitu dengan memperbanyak
shalat, puasa, membaca Al Qur’an, naiuk haji, dan berjihad di jalan
Allah.
Kedua, cara
mujahadat Asy-Syaqa’(orang-oragn yang berjuang melawan kesulitan),
yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan
menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan
melipatgandakan amalan-amalan lahir.
Ketiga, cara
ahli ad-dzikr, yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk
berhubungan dengan tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai tuhan, baik
lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek
ketaatan itu.[13]
BAB III
PENUTUP
Setelah
memahami pembahasan diatas kita dapat mengerti hal-hal yang berkaitan
dengan tasawuf, mulai dari tokoh-tokoh yang merumuskan dasar-dasarnya,
pandangan mereka tentang hakikat hidup, hubungan manusia dengan Tuhan,
pengaruh terhadap kehidupan politik umat islam, hingga perkembangannya
dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia
Ghozali, M. Bahri. 1994. Konsep ilmu menurut al-Ghozali. Jakarta: CV Pedoman ilmu
Khuarsyid, Ibrahin Zaki. 2002. Tassawuf. Mesir: Dairah al-Ma,arif al-Islamiyah
Nasution, Harun. 1992. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Shihab, Alwi. 2001. Islam Sufisti. Bandung: Mizan
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid 3, Jakarta: PT chtiar baru van hoeve,2002
Depak RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Jembatan, 1993
http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/ilmu-tasawuf.html
[2] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 21