A. Pendahuluan
Berkaitan dengan
banyak hal, era modern saat ini telah mengantarkan fiqih (hukum Islam) pada
posisi problematis dan dilematis. Fiqih bukan hanya kesulitan menuntaskan
berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi tapi juga masih gagap
mendefinisikan kediriannya, terutama dalam konteks merumuskan metode hukum yang
viable dipergunakan menuntaskan berbagai masalah tersebut. Dalam
pandangan Coulson, problem inilah yang merupakan di antara sebab terjadinya
“konflik dan ketegangan” antara teori dan praktek dalam sejarah penelitian dan
penerapan hukum Islam.[1]
Di sisi lain, problem akut ini pula yang sekarang ini telah menstimulasi
berbagai upaya pembaruan dalam bidang ini.
Dalam perspektif umum
setidaknya ada tiga level yang mesti dilakukan dalam upaya merekonstruksi
fiqih. Pertama, level pembaruan metodologis yaitu perlunya interpretasi
terhadap teks-teks fiqih klasik secara kontekstual, bukan teks mati; bermazhab
secara metodologis (manhaj); dan verifikasi ajaran yang pokok (usul)
dan cabang (furu’). Dalam level ini setidaknya dapat ditempuh dua upaya yaitu
dekonstruksi (al-qat’iyah al-ma’rifiyah) dan rekonstruksi (al-tawasul
al-ma’rifi). Kedua, pembaruan level etis yaitu perlunya menghindari
upaya formalisasi dan legalisasi fiqih, dan lebih meneguhkannya sebagai etika
sosial. Ketiga, pembaruan level filosofis yaitu mengantarkan fiqih
sebagai yang selalu terbuka terhadap filsafat ilmu pengetahuan dan teori-teori
sosial kontemporer. Kohesivitas dalam ketiga level inilah idealitas pembaruan
hukum Islam diharapkan menuai kontinum keberhasilan.
Sebagai
langkah awal dari upaya rekonstruksi fiqih, tulisan berikut berihtiar
menjelaskan sebuah tawaran solusi metode fiqih, yaitu a univied approach to
shari’ah and social inference.[2]
Secara sederhana, metode ini berusaha menjembatani dan “memadukan” pendekatan
tekstual (normatif) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara
simultan dalam model penelitian ilmiah yang “Islami”. Asumsi dasarnya bahwa
upaya ini akan bermanfaat bagi alternasi metode penemuan hukum Islam di era
multi cultural dan religius ini.
B. Persoalan Tekstualitas Metode Penemuan Hukum Islam.
Dalam
perspektif ushul fiqih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode ijtihad, yaitu bayani (linguistik), ta’lili (qiyasi: kausasi)
dan istislahi (teleologis).[3] Ketiganya, dengan
modifikasi di sana
sini, merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk
peradaban fiqih dari masa ke masa. Dengan berbagai pola dan basis
epistemik inilah lahir dan tersusun ribuan kitab fiqih dengan derivasi cabang
yang bermacam-macam di dalamnya.
Pola
ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi
kebahasaan. Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada
sekitar penggalian pengertian makna teks. Usaha ini mengandung kelemahan jika
dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya bisa diderivasikan dengan
makna yang jauh dari teks. Pola implementasi inilah yang berkembang dan
dipergunakan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan
berbagai ketetapan hukum. Mereka hanya melakukan reproduksi makna dan belum
melakukan produksi makna baru.
Sebagai
pengembangan, sebenarnya pada masa kontemporer ini mulai ada upaya rethinking
metode ini dengan memakai alat bantu filsafat bahasa yang memungkinkan dapat
melakukan produksi makna baru. Salah satu pendekatan dimaksud adalah
interpretasi produktif yang dikemukakan oleh Gadamer.[4]
Interpretasi produktif sebagai model dari hermeneutika memiliki relevansi tersendiri dalam upaya
interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Mekanisme interpretasi produktif
Gadamer ini dimulai dengan memandang suatu teks tidak hanya terbatas pada masa
lampau (masa teks itu dibuat) tetapi memiliki keterbukaan untuk masa kini dan
mendatang untuk ditafsirkan menurut pandangan suatu generasi. Sebagai hal yang
bersifat historis, sebuah pemahaman sangat terkait dengan sejarah, yaitu
merupakan gabungan dari masa lalu dengan masa sekarang.
Namun, upaya ini sepertinya tidak
begitu berkembang. Karena kurangnya spisifikasi analisis sosial dan tiadanya
mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor kurang berkembang dan
diminatinya metode ini. Akhirnya, apriori asumsi muncul bahwa pengembangan
penafsiran teks dengan memakai tawaran Gadamer ini, bagaimanapun diusahakan, tetap saja akan terjebak dengan hegemoni makna
lama dari pada pencapaian makna baru. Dalam konteks sebagai sarana bantu
penyelesaian kasus hukum baru, upaya penafsiran ini berimplikasi pada
pencapaian status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya
maksimal yang dapat dilakukan hanya mampu memodifikasi makna baru teks, membuat
metode ini hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas.
Sedangkan pola ijtihad ke dua yaitu ta’lili (kausasi)[5]
berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang
memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam pola ini teraplikasi
melalui qiyas. Dasar
rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan
qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf)
pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap
kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum
kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang.
Dengan melihat dasar dan
pola operasionalnya, terlihat bahwa metode ini sangat gagap jika harus
dihadapkan pada penyelesaian berbagai kasus baru yang muncul.
Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada
nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang.
Deduktifitas qiyas –dengan sendiri–
menjauhkannya dari nuansa empirical
approach, alih-alih equilibrium
approach[6]
bagi sebuah metode, yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa
utopis, sui generis, dan “ngawang-ngawang”, tidak menyelesaikan masalah.
Karena, ideal sebuah metode penemuan hukum tidak semata berpijak pada nalar
bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar
alami (perubahan empirik).
Upaya penemuan metode yang
prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi
yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang
dirintis oleh al-Ghazali[7]
dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan
as-Syatibi[8]
ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum
realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan
landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana
akan terlihat nanti betapa prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul
pada akhir-akhir ini dengan format, struktur dan kemasan yang modern.
Sampai di sini, terasa sekali kesan bahwa studi hukum Islam yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat
normatif dan sui-generis. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu
berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar, usul al-fiqh
sendiri –yang nota bene merupakan induk dasar metode penemuan Islam itu
sendiri— selalu saja didefinisikan sebagai
"القواعد لإستنباط الآحكام الشرعية العملية من أدلتها
التفصيلية" “seperangkat kaidah untuk mengistimbathkan hukum syar’i amali dari dalil-dalilnya yang tafsili”.[9]
Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul
al-fiqh tersebut adalah kalimatمن أدلتها التفصيلية . Ini memberi kesan
sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak
lebih dari pada analisis teks.[10]
Lebih dari itu, definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam
hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book).
Sementara itu, realitas sosial empiris
yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan
tempat yang proporsional di dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik.
Lemahnya
analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh
banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan
dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.[11]
Dari tiga model metode penemuan hukum Islam yang merupakan jabaran dari ushul
fiqh klasik di atas, adalah ilustrasi nyata akan semua asumsi sulitnya kajian
hukum Islam memberi proporsi yang seimbang bagi telaah empiris. Studi ushul
al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan
doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.[12]
Kesulitan ini
dari masa ke masa tetap saja merupakan tantangan yang belum terjawab tuntas.
Walaupun usaha menjawab tantangan ini telah banyak dilakukan diantaranya
melalui tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik
seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi
dengan induksi tematisnya. Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis
jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisan
mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual.[13]
Demikian juga upaya pembaruan pemikiran kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh
Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum memberikan ketegasan untuk
menjawab pertanyaan sekaligus persoalan di atas[14].
Artinya, meskipun telah demikian jauh diupayakan perluasan (makna) teks melalui
berbagai cara, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis
empiris metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan. Paling tidak
secara metodologis hukum Islam, dengan demikian, masih menyisakan ruang kosong
(jarak) antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.
Tekstualitas
metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) tersebut di atas tentu saja
bukan suatu kebetulan. Sebaliknya, ia merupakan karakteristik yang lahir dari
satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi kajian tertentu.
Penjabarannya bisa dilacak lebih jauh dengan adanya fakta bahwa sebagian besar
umat Islam masih menganut subjektifisme teistik[15]
yang berimplikasi pada satu keyakinan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui
wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa
al-Qur’an dan as-Sunnah. Contoh dari keyakinan inilah yang tampaknya telah ikut
menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci tersebut.
Disadari bahwa
kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti
ini pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam
itu sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial.
Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang
memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan
tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di
belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena
tidak releven lagi dengan situasi aktual
umatnya.[16]
Dalam
pandangan Louay Safi, sangat terbatasnya metode-metode klasik untuk diterapkan
dalam menghadapi realitas modern inilah, sesungguhnya, kesulitan yang dihadapi
pemikir muslim saat ini.[17]
Ketidak-cakapan metode tradisional juga terungkapkan dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan
secara diametral, yaitu pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran
legalistik dan adanya kecenderungan menghilangkan seluruh kriteria dan standar
rasional dengan menggunakan metodologi yang murni intuitif dan esoteris.[18]
Aspek lain dari keterbatasan tersebut adalah ketika studi fenomena sosial
mengharuskan pendekatan holistik yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial
disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, justru metode klasik
bersifat atomistik yang pada dasarnya
disandarkan pada penalaran analogis.[19]
Keterbatasan
metode klasik tersebut pada akhirnya membawa kajian keislaman pada satu krisis
metodologis yang melanda hampir seluruh wilayah kajian Islam termasuk di bidang
hukum. Pada situasi seperti inilah kemunculan satu tawaran alternatif yang bisa
menutupi kekurangan metode sebelumnya menjadi sangat diharapkan. Khususnya di
dalam hukum Islam, adanya upaya metodologi
baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani
problem tekstualitas tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan
hukum Islam.
C. Pendekatan Terpadu Hukum Islam dan Sosial
Krisis
metodologi keilmuan Islam, yang
berpangkal pada kurangnya dimensi empirisitas serta tidak adanya sistematisasi
secara menyeluruh, disadari oleh para pemikir muslim sebagai persoalan yang
harus segera mendapatkan terapi intelektual.[20]
Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak dapat semata-mata ditutup atau diganti
dengan menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat. Hal itu disebabkan karena
metode dan pendekatan ilmu-ilmu sosial modern juga tengah mengalami krisis
epistemologis yang tidak kalah akutnya. Jika metode dan pendekatan keilmuan
Islam terjebak pada analisis tekstual dan kurang mengapresiasi dimensi
sosial-empiris, maka sebaliknya, keilmuan Barat terjebak pada positivisme yang
tidak pernah memperhitungkan dimensi normative (wahyu) dalam metode dan
pendekatannya.[21]
Berdasarkan hal
itu, maka sesuatu yang diperlukan adalah sebuah upaya mendekatkan, secara
epistemologis, dua karakteristik keilmuan tersebut sehingga melahirkan sintesa
positif yang diharapkan bermanfaat bagi keduanya, yaitu dapat diterimanya
dimensi normatif di dalam analisis sosial keilmuan Barat; sementara bagi
ilmu-ilmu keislaman dapat membantu memasukkan fakta-fakta sosial empiris di
dalam analisis tekstualnya. Menyatukan elemen religius ke wilayah ilmu sekuler
ini, menurut Abu Sulayman, tentu saja berarti suatu proses restorasi wahyu dan
akal yang harus “berhenti” dan beroleh pada proses metodologis tertentu.[22]
Yang perlu dicatat bahwa integrasi ini bukanlah suatu percampuran eklektik[23]
dari Islam klasik dan Barat modern, tetapi lebih sebagai reorientasi seluruh
bidang pengetuhuan kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria
baru atas dasar Islam.
Apa yang coba
diupayakan oleh Louay Safi dalam Towards A Unified Approach to Shari’ah and
Sosial Inference dan tokoh lain,[24]
adalah dalam kerangka tersebut di atas. Dalam usulannya, Safi terlebih dahulu
menjelaskan bagaimana setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari pra-anggapan
tertentu atau tidak bebas nilai (value free); bagaimana wahyu juga
mengandung suatu “rasionalitas” tertentu dan; bagaimana realitas wahyu dan
realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan.[25]
Menurutnya, ilmu dan aktifitas ilmiah adalah akibat dari ontologi tertentu yang
mengaitkan upaya ilmiah dengan individu dan lingkungannya dan melengkapinya
dengan dasar motivasional. Sebaliknya, aktivitas ilmiah mengandaikan sejumlah
pernyataan tentang sifat eksisten, suatu kebenaran yang harus diakui sebelum
terlibat dalam berbagai studi empiris. Oleh sebab itu, memisahkan kebenaran
keagamaan (metafisika, wahyu) dari wilayah ilmiah –terutama wilayah ilmu-ilmu
sosial-- adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan.[26]
Perlu
digasrisbawahi bahwa “ilmu sosial” yang dimaksudkan oleh Safi dalam a univied approach to
shari’ah and sosial inference, menurut penulis, adalah ilmu sosial
kemanusiaan (humaniora) secara umum. Oleh sebab itu, ia tidak hanya terbatas
pada ilmu sosiologi saja, tetapi mencakup pula ilmu sejarah, antropologi,
politik dan sebagainya dengan karakternya yang “historis”, empiris dan tedas
makna. Ini tampak ketika Safi memaparkan kekhasan
“ilmu sosial” dihadapan metode-metode kealaman (naturalistic methods).[27]
Penolakan wahyu dalam analasis ilmiah karena itu menjadi tidak relevan terutama
dalam bidang ilmu-ilmu sosial humaniora. Sebagai konsekuensinya, maka
sumber-sumber pengetahuan juga harus digali baik dari wahyu maupun dari
realitas empiris-historis. Meski demikian, pemaduan ini (univied model),
disadari oleh Safi,
tidak dimaksudkan untuk mengharmonisasikan (mencampuradukkan) secara eklekstis
antara dua tradisi (keilmuan Islam dan Barat), akan tetapi mengintegrasikan
pengetahuan yang diperoleh oleh dari wahyu dengan pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman manusia.[28]
Lebih jauh
bagaimana upaya merumuskan kerangka dasar dan bagaimana langkah-langkah
metodologis dari upaya mengintegrasikan normativitas (wahyu) dan rasionalitas
(empirisitas) itu menjadi mungkin dilakukan? Bagi Safi, hal ini mungkin
dilakukan dengan terlebih dahulu membuat inferensi tekstual dan historis-empiris untuk kemudian dibuatkan
analisisnya yang bersifat “terpadu” antara keduanya. Kedua inferensi tersebut
dilakukan dengan suatu prosedur inferensi yang khas, sebagaimana dijelaskan Safi sebagai berikut:
A. Prosedur Inferensi Tekstual
Prosedur
inferensi tekstual ini dimaksudkan untuk menderivasi aturan-aturan dan
konsep-konsep dari wahyu secara sistematis dan memadai. Ada empat langkah yang harus dilewati dalam
prosedur ini, yaitu:
1.
Mengindentifikasi teks (al-Qur’an dan Sunnah) yang relevan
dengan persoalan yang sedang dibahas. Tetapi identifikasi ini tidak semata-mata
inventarisasi, tetapi mencakup pula analisis dan pendalaman linguistik secara
tematis.
2.
Memahami (menafsirkan) makna pernyataan teks secara memadai
dan relevan baik secara individual (leksikal) maupun dalam kaitanya
dengan yang lain (secara kontekstual).
3.
Menjelaskan (ta’lil) terhadap teks, yaitu
mengidentifikasi causa efisien (‘illah) yang menjadi dasar adanya
perintah atau petunjuk dalam teks. Ini bertujuan mengindentifikasi sifat umum
yang dimiliki oleh benda yang berbeda-beda yang menjustifikasi acuan pengunaan
term yang sama sebagai langkah awal menemukan prinsip-prinsip universal yang
mengatur berbagai pernyataan syari’ah.
4.
Membangun suatu aturan dan konsep umum yang diderivasi dari
teks. Ini dapat dicapai dengan proses abstraksi terus-menerus, sehingga aturan/konsep
hasil derivasi dari teks itu dapat dimasukkan ke dalam aturan lain yang memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi.[29]
Sebelumnya harus
disadari bahwa bagaimanapun canggihnya sistem aturan dan konsep yang berhasil
diderivasikan dari wahyu, hal itu tidak cukup
memadai untuk mendasari perbuatan/tindakan tertentu, karena dua alasan.[1]
Pertama, sistem itu sendiri terdiri dari aturan general dan universal,
aplikasinya terhadap kasus partikular membutuhkan pertimbangan dan spesifkasi
lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan informasi tentang watak
aksi dan interaksi individual atau kolektif. Kedua, aplikasi aturan
universal mensyaratkan pengetahuan tentang syarat-syarat yang ada. Aplikasi
aturan dimungkinkan ketika syarat teoretis dari suatu aksi bersesuaian dengan
kondisi aktualnya.
Berdasarkan
hal itu diperlukan suatu studi terlebih dahulu terhadap aksi dan interaksi
manusia sebelum suatu aturan wahyu diimplementasikan. Dalam hal ini diperlukan
satu inferensi sosial-historis (empiris) --yang berbeda dengan metode Barat—
yang harus dimulai dari menganalisis elemen-elemen dasar yang membentuk
fenomena, yakni aksi manusia dengan prosedur inferensi seperti di bawah ini.
II. Prosedur Inferensi Historis[2]
1.
Menganalisis aksi individu yang termasuk ke dalam fenomena
sosial yang sedang dibahas. Maksud yang ingin diketahui di sini adalah tujuan,
motif dan aturan aksi tersebut. Tujuan adalah seluruh obek
yang dikemukakan oleh aktor. Motivasi adalah dorongan psikologis aktor.
Sedangkan aturan adalah suatu prosedur teknis (hukum-hukum sosial) yang
harus diikuti untuk mencapai tujuan aksi.
2.
Mengklasifikasi berbagai bentuk atau tipe aksi berdasarkan
kesamaan atau perbedaan komponennya (tujuan, motif dan aturannya). Aksi yang
bertujuan sama akan membentuk satu kelompok homogen, sebaliknya aksi yang
bertujuan berbeda akan terbagi dalam populasi heterogen.
3.
Mengidentifikasi aturan-aturan universal yang membangun
interaksi antara berbagai kelompok yang
diidentifikasi pada langkah kedua. Guna menarik aturan-aturan universal atau
hukum-hukum interaksi, pola-pola kerja
sama dan konflik, dominasi dan submisi,
pertumbuhan dan kemunduran sosial harus dikaji secara komparatif melampaui
batasan waktu dan geografi.
4.
Sistematisasi aturan-aturan universal yang didapatkan dari
langkah sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk
menghilangkan inkonsistensi internal di dalam sistem aturan yang
dihasilkan.
Setelah
dilakukan inferensi tekstual dan historis (sosial-empiris), maka kemudian dapat
disusun suatu prosedur inferensi yang padu antara keduanya. Hal ini, menurut Safi, dikarenakan keduanya memiliki suatu pola-pola
general inferensi ilmiah. Inferensi
terpadu tersebut dapat dilakukan melalui prosedur berikut:[1]
1.
Analisis teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen
dasarnya, yaitu pernyataan (wacana) dan aksi (fenomena)
2.
Pengelompokkan pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori
3.
Mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai
kategori
4.
Identifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan general yang
membangun interaksi atau inter-relasi berbagai kategori
5.
Sistematisasi aturan-aturan yang diperoleh melalui
prosedur-prosedur sebelumnya (menghilangkan kontradiksi).
Keterpaduan
pola-pola inferensi tekstual dan historis di atas tidak terbatas pada persamaan
prosedur analisis tektual dan historis, tetapi juga dapat diperluas kepada
struktur aksi dan wacana. Baik aksi maupun wacana, sesungguhnya memiliki sistem
aturan motif dan tujuan yang memungkinkan penyatuan dan koherensi serta
memperbandingkan dan mempertentangkan antara keduanya.[2]
Di sinilah kiranya, dapat dicari lebih lanjut tentang pola hubungan antara
wayhu di satu pihak dan rakyu, empirisitas di pihak lain. Tentang
langkah-langkah pemaduan analisis tekstual dan historis dapat digambarkan dalam
diagram di bawah ini:
A. Menuju Metode Penemuan Hukum Islam Kontekstual
Pendekatan
metodologis yang digagas Louay Safi, sesungguhnya hanya menyajikan suatu model
penelitian ilmiah (sosial) alternatif yang dekat dengan aspirasi Islam.[1]
Namun demikian, ancangan metodologi alternatif tersebut barangkali bisa
dijadikan inspirasi bagi pengembangan studi hukum Islam yang mencoba
mengapresiasi dan memasukkan data-data sosial empiris dalam analisisnya,
meskipun disadari, bahwa Safi sendiri tidak memaksudkan kajiannya ini sebagai
suatu pengembangan metode yang khusus di dalam hukum Islam.
Apabila dibawa ke dalam metode hukum Islam,
maka integrasi ini berjalan di atas peta yang berbeda. Jika proses integrasi
wahyu dan rakyu (empirisitas) dalam ilmu-ilmu sosial modern bergerak untuk
memasukkan wahyu –yang sekian lama telah disingkirkan-- ke dalam analisis
sosial-historis (empiris), maka hal itu terjadi pada arah yang sebaliknya dalam
metode penemuan hukum Islam, yaitu membawa data-data dan fenomena sosial-historis
(empiris) masuk ke dalam analisis hukum Islam (tekstual-wahyu).[2]
Hal ini diakibatkan oleh karena dimensi sosial empiris-lah yang telah
disingkirkan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.
Pada tingkat
metode keilmuan yang lebih operasional, proses tersebut mengandaikan adanya
pendekatan “induksi sosial” dalam hukum Islam yang dilakukan secara simultan
dengan pendekatan deduktif. Artinya, metode penemuan hukum Islam –mengikuti inferensi terpadu a la
Louay Safi-- mesti memasukkan data realitas empirik dalam proses analisis dan
penyimpulan hukumnya (Istinbath al-Ahkam), bukan semata-mata diderivasi
dari teks. Cara induksi ini menurut Qodri Azizy, lebih hidup dan leluasa,
tetapi perlu pembatasan sejauh mana seseorang
dapat berinduksi dalam berhukum[3].
Kesulitan yang
masih ditemukan dalam memasukkan realitas empiris itu adalah melalui jalan
manakah realitas dan data-data sosial empirik itu dapat ditarik dan disertakan
dalam analisis teori dan metode penemuan hukum Islam (Ushul al-Fiqh)?
Dalam banyak hal pendekatan induksi sosial itu sendiri tampaknya lebih relevan
bergerak untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan causa efisien maupun causa
finalis (‘illah dan atau hikmah) dari objek-objek hukum
dengan memanfaatkan baik ilmu-ilmu sosial maupun kealaman.[4]
Ketika kasus hukum telah disebut dalam teks tanpa disertai illat dan hikmah,
analisis empiris bertujuan untuk menjelaskan atau mengungkapkan ‘illat
dan hikmahnya guna memantapkan penerimaan terhadap hukum tersebut, atau
juga mungkin untuk merubahnya. Bagi kasus hukum baru yang belum ada dalam teks,
analisis empiris bertujuan untuk membangun fondasi hukum kasus tersebut.[5] Dalam teori hukum Islam hal ini disebut ta’lil
al-Ahkam atau kausasi hukum. Menurut penulis hal ini sesuai dengan
inferensi historis Louay Safi, bahwa analisis aksi –pada langkah pertama
inferensi hitorisnya-- berupaya membongkar tujuan, motif dan aturan. Metode ini
paralel dengan analisis ta’lil dalam prosedur inferensi tekstual.[6]
Di sinilah kemudian dimensi sosial empiris dapat dimasukkan dalam setiap
analisis hukum Islam.
Pada situasi
ketika antara keduanya berhadapan secara kontradiktif, maka realitas empiris
(misalnya institusi adat dsb.) harus direkonstruksi –sistem aturan dan
tujuannya--sedemikian rupa dengan tetap memberinya hak hidup. Ini didasarkan
kepada kesimpulan inferensi terpadu Safi,
bahwa suatu aksi kolektif (fenomena sosial empiris) maupun wacana (wahyu)
memiliki sistem aturan dan tujuan hingga memungkinkan dilakukannya penyatuan,
memperbandingan atau mempertentangkan.[7]
Berdasarkan
hal itu maka pola hubungan yang terbangun bersifat bukan hirarkis, tetapi
alternatif-saling mendukung antara
realitas empiris dan wahyu dalam metode hukum Islam. Realitas empiris dan wahyu
harus berfungsi komplementer dan berhubungan dialektis selamanya, baik ketika
realitas sosial itu tidak terdapat dalam teks wahyu maupun ketika ia
berseberangan dengan teks wahyu.
Berbagai
bentuk pembaruan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, seperti taklik talak (pasal 45),
pengaturan harta bersama/gono-gini (pasal 85-97), ahli waris pengganti (plaatsvervulling)
untuk cucu yatim (pasal 185), wasiat wajibah untuk anak dan orang tua
angkat (pasal 209) serta harta hibah yang diperhitungkan sebagai warisan (pasal
221), bisa dijadikan sebagai contoh sekaligus aplikasi pendekatan terpadu hukum
Islam dan sosial ini. Sejauh pengetahuan penulis, semua bentuk pembaruan
tersebut telah banyak terinsprasi sekaligus merupakan kreasi hukum Indonesia
berhadapan dengan realitas sosial dan kultural yang benar-benar menjadi living
law di masyarakat. Di bawah ini akan dibahas harta hibah orang tua kepada
anaknya yang kemudian --ketika orang tua tersebut meninggal-- harta hibah
tersebut diperhitungkan sebagai warisan bagi anak yang bersangkutan.
Kata “hibah” adalah bentuk masdar dari kata وهب yang artinya memberi. Secara istilah, pengertian
hibah adalah pemilikan suatu benda melalui transaksi atau akad tanpa mengharap imbalan apapun dari
orang yang diberi ketika pemberi masih hidup.[8]
Sedangkan dalam rumusan KHI pasal 171 huruf (g), disebutkan “Hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hibah dapat dilakukan oleh siapa saja
yang cakap tanpa adanya unsur paksaan. Sebagaimana hal itu disebutkan dalam
pasal 210 ayat (1) dan (2) KHI: (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya
21 tahun, berakal sehat tanpa adanya
paksaan dapat menghibahkan sebaganyak-banyaknya
1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang
saksi untuk dimiliki. (2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
penghibah
Mengenai hibah
orang tua kepada anaknya yang selanjutnya diperhitungkan sebagai harta warisan
belum pernah ditemukan pembahasannya dalam literatur kitab-kitab fiqh.
Pendeknya, hal ini merupakan suatu
fenomena baru dalam konteks pemikiran hukum Islam. Di Indonesia sendiri,
persoalan ini hanya dapat ditemukan dalam hukum adat, sebuah realitas
sosial-kultural empiris di masyarakat kita.
Menurut Hilman
Hadikusuma, dalam hukum adat, penerusan harta warisan yang bersifat individual
--seperti dalam hukum waris Islam--
kepada para ahli waris dapat
terjadi sebelum pewaris wafat maupun sesudahnya. Terjadinya penerusan harta warisan
ketika pewaris masih hidup, di kalangan keluarga Jawa disebut “lintiran”. Hal
ini berla`ku melalui penunjukkan dalam bentuk hibah-wasiat tertulis
maupun tidak tertulis yang berupa pesan dari orang tua (pewaris) kepada ahli
warisnya. Penunjukkan itu dilakukan dengan cara menentukan harta warisan
tertentu kepada ahli waris tertentu, atau dengan menunjukkan batas-batas tanah
pertanian, atau dengan menunjukkan
jenis barangnya. Sedangkan di Aceh, apabila dilakukan wasiat, maka harta
yang dapat dipesankan bagi ahli waris tertentu tidak boleh melebihi 1/3 jumlah
seluruh warisan. Jika terjadi kelebihan, maka ketika diadakan pembagian
warisan, bagian yang lebih itu dapat ditarik kembali.[9]
Dalam
persoalan hibah sebagai warisan ini, KHI mengkonstruksikannya secara tegas menjadi ketentuan hukum Islam
yang positif. Dalam pasal 221 disebutkan sebagai berikut: “Hibah orang tua
kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.” Apabila kita perhatikan
lebih jauh, maka terobosan baru KHI dalam bidang kewarisan ini ternyata
mendasarkan diri pada realitas sosial yang hidup disekelilingnya, yaitu
fenomena aksi kolektif berupa hibah wasiat. Meminjam inferensi historis
Louay Safi, dapat dijelaskan bahwa formulasi
(istinbath) hukum tersebut
juga dilakukan dengan memasukkan analisis empiris terhadap fenomena hibah
wasiat, dengan mengungkapkan motif
dan tujuannya, yaitu
mendistribusikan keadilan ekonomis dan menjaga perdamaian di antara
anak-anaknya. Muatan pasal 221 KHI yang bertendensi untuk mendistribusikan
keadilan bagi para ahli waris berarti sesuai dengan asas hukum kewarisan Islam,
yaitu asas keseimbangan dan keadilan.[10]
Sedangkan sistem aturannya di rekonstruksi sesuai dengan aturan (Furud
al-Muqaddarah) dalam hukum waris Islam.
Sebagian pakar
beranggapan bahwa penyerahan semacam ini dipandang sah dalam hukum Islam,
karena sesungguhnya dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari kemungkinan
adanya rasa ketidakadilan di kalangan anak-anaknya.[11]
Para orang tua biasanya memberikan
bagian-bagian tertentu dari hartanya kepada anak-anaknya yang telah
berkeluarga. Kemudian, ketika orang tua meninggal maka harta tersebut
diperhitungkan sebagai warisan, dengan ketentuan jika kurang maka dapat
ditambah. Sebaliknya, jika dipandang lebih –sepanjang tidak merugikan orang lain--
dapat dikembalikan.[12]
Sampai di sini
maka dapat dikatakan bahwa hibah sebagai waris tidaklah bertentangan dengan
hukum waris Islam. Betul bahwa hartanya diserah-terimakan pada saat pewaris
(orang tua) masih hidup –sehingga menurut sebagian ahli tidak bisa anggap
waris— tetapi itu hanya serah-terimanya.
Akadnya masih tetap hibah (pada saat si orang tua masih hidup).
Sebaliknya, sebutan harta warta waris baru muncul setelah pewaris (orang tua)
meninggal –sesuatu yang memang diharapkan demikian oleh orang tua dalam tradisi
di masyarakat.
Dari uraian di
atas, dapat dikatakan bahwa ketentuan KHI dalam hal ini tampak sekali
mengakomodasi realitas empiris sebagaimana dikandung dalam nilai-nilai hukum
adat yang telah hidup dan mapan di tengah masyarakat. Ketentuan KHI tentang
hibah sebagai warisan, di samping mempertimbangkan tujuan dan motifnya, yaitu
nilai-nilai kemaslahatan, berupa keadilan dan kedamaian tanpa saling cemburu
secara sosial dalam pembagian tersebut, juga melakukan revisi sistem aturannya
dengan memasukkan sistem pembagian tidak melebihi 1/3 harta keseluruhan, yang
sesuai dengan hukum waris Islam.
B. Beberapa Catatan Akhir.
Usaha
pembaruan metode penemuan hukum Islam dengan pendekatan terpadu berupa analisis
inferensi historis dan tekstual, merupakan satu capaian intelektual yang cukup
ideal --meskipun masih terasa sangat abstrak dan belum sepenuhnya
mengejawantah. Sifat sui-generis metode penemuan hukum Islam tampaknya
merupakan trade mark, yang mungkin memang harus demikian, nampaknya
tidak mungkin dirubah. Namun demikian, hal ini perlu diimbangi dengan apresiasi
proporsional terhadap realitas sosial yang harus dapat dibawa dan masuk dalam
analisis penyimpulan hukumnya. Dengan membawa realitas empirik masuk ke dalam
analisis penemuan hukum, akan sedikit ada jaminan hukum Islam di Indonesia
dapat tampil lebih kreatif dan hidup di tengah-tengah proses regulasi sosial
modern.
Tawaran
pendekatan Louay Safi tampaknya sengaja diarahkan pada suatu upaya
merekonstruksi suatu pemahaman di dalam wilayah baru yang belum ada teks-teks
hukumnya dengan menghargai tradisi secara proporsional sekaligus mengurangi
kesan arogansi intelektual. Hal ini dilakukan melalui penggabungan teori system
dan teori aksi di dalam perangkat analisisnya. Inilah yang secara substansial harus
diakui berbeda dari tawaran pembaruan pemikiran hukum Islam yang diajukan oleh
Fazlur Rahman, Muhammad Sahrur dan kawan-kawannya. Meskipun begitu, paradigma
pembacaan al-Qur’an yang mendasari kerja keilmuan ini masih menggunakan
kategori qath’i dan dzanni –satu kategori yang dalam studi ilmu
al-Qur’an sangat controversial.
Pembaruan yang
ditawarkan Fazlur Rahman, Muhammad Sahrur dan kawan-kawannya, berdasarkan
analisis Hallaq, lebih tertuju pada interpretasi makna baru terhadap teks-teks
yang telah ada. Sebaliknya, kurang memberikan mekanisme yang jelas tentang
bagaimana bersikap secara metodologis terhadap suatu fenomena yang teks, tidak
memberikan status hukumnya. Inilah yang memberi kesan abstrak dan intelektual
oriented, sehingga kurang membumi.
Sebagai catatan akhir, bolehlah dikatakan bahwa
suatu pendekatan terpadu hukum Islam dan sosial memang menjadi suatu kebutuhan
yang perlu terus ditindaklanjuti. Ini penting agar hukum Islam dapat terus dan
kembali bermain dalam berbagai proses regulasi masyarakat modern. Sebuah
cita-cita yang tentu saja meliputi seluruh bidang garap hidup dan kehidupan
manusiaDaftar Pustaka
Abu Sulayman, Abdul Hamid A.
Crisis in the Muslim Mind, 1st Edition. Herndon, Virginia:
IIIT, 1983.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Islamization
of Knowledge General Principles and Work Plan. Herndon, Virginia:
IIIT, 1989.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Towards
an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and
Thought, 2nd Edition. Herndon,
Virginia: IIIT, 1994.
Anwar, Syamsul. “Epistemologi Hukum
Islam Probabilitas dan Kepastian”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh
Indonesia.
Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994.
Anwar, Syamsul. “Paradigma Fikih
Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh”. Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer
pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, 28 Agustus, 2002
Anwar, Syamsul. “Pengembangan Metode
Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrofiq (ed.), Madzhab Jogja Menggagas
Paradigma Usul Fiqh Komtemporer. Yogyakarta:
Pustaka Ar-Ruz, 2002.
Anwar, Syamsul. “Teori Hukum Hukum
Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, dalam M. Amin
Abdullah et. al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002.
Azizy, A.
Qodri. Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Basyir, Ahmad Azhar. “Corak Lokal
dalam Hukum Positif Islam di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filosofis”, dalam Cik
Hasan Bisri (peny.), Hukum Islam dalam Tatanaan Masyarakat Indonesia. Jakarta:
Logos, 1998.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press, 1982.
Coulson, Noel James. Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence.
Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969.
Dawalibi, Muhammad Ma’ruf ad-. al-Madhal
ila ‘Ilm Usul al-Fiqh. Ttp: Dar al-Kitab al-Jadid, 1965.
Fuad, Mahsun. “Ijtihad Ta’lili
sebagai Metode Penemuan Hukum Islam (Telaah dan Perbandingannya dengan Analogi
Hukum positif),” dalam Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner,
Vol.3, No. 1, Januari-Juni 2004.
Gadamer, Hans George. Truth and
Method, New York:
The Seabury Press,1975.
Ghazalli, Abu Hamid al-. Al Mustasfa min Ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu
Hukum Adat di Indonesia. Jakarta: Mandar Maju, 1992.
Hallaq, Wael B. “On the Origins of the Controversy About the
Exsistence of Mujtahids and the Gate of Ijtihad” dalam Studia Islamica,
Vol. 63, Tahun 1986
Hallaq, Wael B. “Was the Gate of Ijtihad Closed ?”, dalam International
Journal of Middle East Studies, Vol. 16, No. 1, Tahun 1984
Hallaq, Wael B. A History of
Islamic Legal Theories An Introductin to Sunni Usul Fiqh.,Cambridge: Cambridge Universyti Press, 1997.
Kamali, M. Hasyim. “Fiqh and Adaptation to Sosial Reality”
dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari, 1996
Kamali, M. Hasyim. Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: The Islamic
Texts Society, 1991.
Khallaf, Abdul Wahhab.
‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait:
Dar al-Qalam, tt.
Minhaji, Akh. “Reorientasi Kajian
Ushul Fiqih”, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun
1999
Minhaji, Akh.“A Problem of
Methodological Approach to Islamic Law Studies”, al-Jami’ah Journal of
Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999
Muhadjir, Noeng. “Wahyu dalam
Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme Metodologik: Metodologi Kualitatif”,
dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (ed.) Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana,
1989.
Parman, Ali. Kewarisan dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Rajawali Pers,
1994.
http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/problematika-penegak-hukum-dalam.html
Praja, Juhaya
S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995.
Sabiq, As-Sayyid as-.
Fiqh as-Sunnah. Beirut:
Dar al-Fikr, 1989.
Safi, Louay, Ancangan
Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Sosial
dan Barat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Safi, Louay. The Foundation
of Knowledge, A Comparative Studyin Islamic and Western Methods of Inquiry. Selangor:
IIU & IIIT, 1996.
Syatibi asy-. al-Muwafaqat fi
Ushul al-Ahkam. Ttp: Dar al-Fikr, 1341 H.
Zahrah, Abu. Ushul al-Fiqh. ttp.: Dar al-Fikr al-‘Araby, tt.
http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/problematika-penegak-hukum-dalam.html
[1] Ibid., hlm. 192-193.
[2] Lihat Syamsul Anwar, “Teori
Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”,
hlm., 205.
[3] Menurut Qodri, setidaknya diberi batasan bahwa dalam proses induksi
itu dalil (teks) diposisikan sebagai inspirasi proposisi atau landasan (starting
point) analisis, terutama dari sisi epistemologi, sekaligus sebagai alat
kontrol terhadap proses dan esensi/hasil yang ditemukan. Tetapi, pembatasan itu
harus tetap memberi kebebasan berpikir. Lihat A. Qodri Azizy, Eklektisisme
Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta:
Gama Media, 2002), hlm. 47. Bandingkan dengan
Noeng Muhadjir, “Wahyu dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme
Metodologik: Metodologi Kualitatif”, dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim
(ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiawa
Wacana, 1989), hlm. 61, 62.
[4] Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat
Hukum Islam, (Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), hlm. 68. Lihat juga Syamsul Anwar, “Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan
Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, hlm. 207.
[5] Ibid.
[6] Lihat kembali pembahasan bagian C, tentang prosedur inferensi
tekstual dan historis Louay Safi.
[7] Louay Safi, The Foundation of Knowlwdge, hlm. 190-191.
[8] As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh
as-Sunnah, Cet. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), III: 388.
[9]Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia,
Cet. 1, (Jakarta: Mandar Maju, 1992), hlm. 215-217.
[10]Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik,
Cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994),
hlm. 71-84.
[11]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Cet. 1, (Yogyakarta:
UII Press, 1982), hlm. 154. Idem, “Corak Lokal dalam Hukum Positif Islam
di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filosofis”, dalam Cik Hasan Bisri (peny.), Hukum
Islam dalam Tatanaan Masyarakat Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Logos,
1998), hlm. 154.
[12] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, hlm. 61
[1] Ibid., hlm. 187-189.
[2] Ibid., hlm. 189-190. Kata “historis” di sini tampaknya lebih
bermakna “empiris” untuk membedakannya dengan hermeneutik/linguistik dan
fenomenologis –sebagaimana kategori
Donald Polkinghorne dalam Methodology for the Human Sciences, (Albany:
State University of New York Press, 1983). Inferensi historis, dengan demikian
adalah suatu penyimpulan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-empiris.
* Mahsun Fuad Alumni Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta,
Peminat kajian Filsafat dan Hukum Islam, Penulis buku Hukum Islam Indonesia:
dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, (Jogjakarta: LKiS,
2005). Tinggal di Mantingan Ngawi.
[1] Noel James Coulson, Conflict and Tension in Islamic
Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), hlm. 58-76.
[2] Upaya ini ditawarkan oleh Louay Safi, dalam bukunya The
Foundation of Knowledge A Comparative
Studyin Islamic and Western Methods of Inquiry, (Selangor: IIU &
IIIT, 1996), hlm. 171-196. Muhammad Anas
az-Zarqa coba mengembangkan metode ini dalam bidang ekonomi, lihat Muhammad
Anas az-Zarqa, “Tahqiq Islamiyah ‘Ilm al-Iqtisad: al-Manhaj wa al-Mafh-m,”
dalam Toward Islamization of Disciplin, (Herdon: IIIT, 1989), hlm.
317-57.
[3] Ijtihad istihsani tidak dianggap sebagai pola ijtihad yang berdiri
sendiri dengan alasan beberapa bagian aplikasinya masuk bahasan ijtihad qiyasi dan sebagian yang lain dalam
katagori istislahi, Lihat lebih
lanjut pada Muhammad Ma’ruf ad-Dawalibi,
al-Madhal ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Ttp: Dar al-Kitab al-Jadid, 1965), hlm.
419
[4] Lihat lebih lanjut pada Hans George Gadamer, Truth and Method,
(New York: The Seabury Press,1975).
[5] Lihat uraian metode ini pada Mahsun Fuad, “Ijtihad Ta’lili sebagai
Metode Penemuan Hukum Islam (Telaah dan Perbandingannya dengan Analogi Hukum
positif),” Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.3, No. 1,
Januari-Juni 2004, hlm. 57-79.
[6] Yang penulis maksud dengan istilah “equilibrium approach” adalah pendekatan yang mengkombinasikan
secara seimbang (adil) aspek teks dan konteks atau normatif dan historis.
[7] Mengenai konsep maslahah al-Ghazalli, lihat al-Ghazalli, Al Mustasfa min Ilm al-Usul, (Beirut Dar al-Fikr, tt), terutama hlm
251.
[8] Mengenai konsep maslahah lihat pada asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi
Ushul al-Ahkam, (Ttp: Dar al-Fikr, 1341 H).
[9] Abu Zahrah misalnya
mendefinisikannya sebagai العلم با القواعد التي
ترسم المنا هج لإستنباط الأحكام العملية من ادلتها التفصيلية . . Lihat Abu Zahroh, Usul al-Fiqh, ( ttp.: Dar al-Fikr
al-‘Araby, tt.), hlm. 7. Wahhab Khallaf
juga mendefinisikannya sebagai العلم با القواعدوالبحوث التي يتوصل بها إلى إستفادة الأحكام الشرعية
العملية من ادلتها التفصيلية .. Lihat Abdul Wahhab Khallaf,
‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 12.
[10] Secara tegas Hasyim Kamali bahkan menyebut bahwa ushul al-fiqh
merupakan ilmu yang menjelaskan sumber-sumber hukum dan sekaligus metode
deduksi hukum dari sumber-sumber tersebut. M. Hasyim Kamali, Principles
of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991), hlm. 1. Cetak miring dari penulis.
[11] Lihat Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards
an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and
Thought, 2nd Edition,
(Herndon, Virginia: IIIT, 1994),
hlm. 87-92. Idem, Crisis in the Muslim Mind, alih bahasa Yusuf Talal
Delorenzo, 1st Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1993), hlm. 43-45. Lihat juga Akh. Minhaji,
“A Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies”, al-Jami’ah
Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. iv-v.
[12] Bandingkan
dengan Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, al-Jami’ah
Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. 16-17.
[13] Syamsul Anwar, “Teori Hukum Hukum Islam
al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, dalam M. Amin
Abdullah et. al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural,
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 198.
[14] Wael B. Hallaq, A History f Islamic Legal Theories An
Introduction to Sunni Usul al-Fiqh, (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), hlm. 245, dan 253.
[15] Syamsul Anwar, “Epistemologi
Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke
Arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994), hlm. 74.
[16] Dalam konteks yang lebih luas, Syamsul Anwar mencatat ada lima (5)
karakteristik studi fiqh yang dominan, yaitu (1) pemusatan studi hukum Islam
sebagai law in book, tidak mencakup law in action, (2) pencabangan materi yang rumit tanpa
memperhatikan relevansi dengan permasalahan yang berkembang (3) sifat
polemik-apologetik, (4) inward looking dan (5) atomistik. Secara
epistemik kajian fiqh juga ditandai oleh
karakteristik (1) kurang memisahkan mitos dan sejarah, (2) univokalisasi makna
dan (3) nalar transhistoris. Syamsul Anwar, “Paradigma Fikih Kontemporer:
Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh”, Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana
IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, tanggal 28 Agustus, 2002, hlm. 8-9.
Karakteristik lebih sederhana diberikan oleh Hasyim Kamali, yaitu: (1) tidak
mendukung efektifitas dan efisiensi administrative, karena ditulis mengikuti style
abad pertengahan serta tidak mempunyai klasifikasi yang rapi, (2) consern
kajiannya tidak lagi relevan dengan isu dan kondisi aktual umat Islam, dan (3)
adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme madzhab
dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran lain. M. Hasyim Kamali, “Fiqh and
Adaptation to Sosial Reality” dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No.
1, Januari, 1996, hlm. 78-79.
[17] Louay Safi, The Foundation of Knowledge…, hlm. 12.
[18] Ibid. Lihat juga Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Islamization
of Knowledge General Principles and Work Plan, (Herndon, Virginia:
IIIT, 1989), hlm. 24-26. Idem, Towards
an Islamic Theory of International Relation…, hlm. 62.
[19] Louay Safi, The Foundation of Knowledge…, hlm. 13.
[20] Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an Islamic Theory of
International Relation, hlm. 87-92,
92-96. Idem, Crisis in the Muslim Mind, hlm. 43-63.
[21] Louay Safi, The Foundation of Knowledge…, hlm. 4-9.
[22] Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Crisis in the Muslim Mind, hlm.
21.
[23] Islamil R. al-Faruqi, sebagaimana dikutip oleh Louay Safi, The
Foundation of Knowledge, hlm. 6.
[24] lihat Muhammad Anas az-Zarqa, “Tahqiq Islamiyah ‘Ilm al-Iqtisad:
al-Manhaj wa al-Mafh-m,” dalam Toward Islamization of Disciplin,
(Herdon: IIIT, 1989).
[25] Ibid., hlm. 172, 174,
176.
[26] Ibid., hlm. 172-173,
dan 178,179.
[27] Ibid., hlm. 149-155.
[28] Lihat kata pengantar Louay Safi, Ibid., ix-x.
[29] Ibid., hlm. 182-187.