BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Persoalan Iman
(aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran islam yang didakwahkan oleh
Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas
pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini,
persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan
syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama
periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan. [1]
Berbicara masalah aliran
pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara
harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim
yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Mempelajari teologi akan memberi
seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Sehingga muncul
perbedaan antara umat islam.[2]
Perbedaan yang
ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah,
keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi
yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak
manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian
memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah
dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
II.
Rumusan Masalah
- Bagaimanakah pengertian, latar belakang, dan ajaran-ajaran aliran Jabariyah?
- Bagaimanakah pengertian, latar belakang, dan ajaran-ajaran aliran Qodariyah?
- Bagaimanakah refleksi faham Qadariyah dan Jabariyah?
III.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, latar
belakang, dan ajaran-ajaran aliran Jabariyah.
2. Untuk mengetahui pengertian, latar
belakang, dan ajaran-ajaran aliran Qadariyah.
3. Untuk mengetahui Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Aliran Jabariyah
A. Pengertian
Secara bahasa Jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid
dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah
adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara
istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan
semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan
terpaksa (majbur).[3]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah
paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang
dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh
Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa
Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[4]
B. Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak
adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa
Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar
dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[5] Adapaun tokoh yang
mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan.[6]
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham
ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab.
Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan
pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik
matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat
tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi
yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi
panasnya musim serta keringnya udara.[7]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan
disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa
lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang
awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng
menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah, diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu".
b. QS al-Anfal: 17
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka
c. QS al-Insan: 30
”Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Selain ayat-ayat Alquran di atas
benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang
bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk
memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran
tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap
seorang pencuri. Ketika
ditntrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku
mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang
itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada
orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang
qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu
bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan
qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali
menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan
siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah
paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah,
dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat
dosa.
d. Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan
pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[8]
Di samping adanya bibit pengaruh faham
jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada
sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh
dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan
agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan demikian, latar belakang lahirnya
aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal
dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang
mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya
pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham
ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham
Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya
keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang
ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat
Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.[9]
C. Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan
berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat. Diantara Pemuka
Jabariyah ekstrim dan pendapat-pendapatnya adalah:
1.
Jahm
bin Shofwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan
teologi adalah:
a. Manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa.
Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
b. Surga den neraka tidak kekal. Tidak ada
yang kekal selain Allah.
c. Iman adalah ma'rifat untuk membenarkan dalam hati.[10]
d. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak
mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat,
dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[11] Aliran ini dikenal juga
dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
2. Ja'ad bin Dirham
Pendapat Ja’ad secara umum sama dengan pendapat
Jahm, yaitu:
a. Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang
baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa
dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. [12]
c. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala
hal.[13]
Diantara Pemuka Jabariyah ekstrim dan
pendapat-pendapatnya adalah:
1.
Husain
bin Muhammad an-Najjar
Pendapat
An-Najar adalah:
a. Tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan
itu.
b.
Tuhan
tidak dapat dilihat di akherat. Akan
tetapi An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat)
pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
2. Adh-Dhirar
Pendapatnya adalah bahwa manusia tidak hanya merupakan
wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan
dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatan. Secara tegas Dhihar
mengatakan bahwa satu perbuatan dapat dilakukan oleh dua pelaku secara
bersamaan. Artinya, perbuatan manusia tidak anya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi
juga oleh manusia itu sendiri. Manusia mempunyai peran dalam
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. [14]
Mengenai melihat Tuhan, Dhihar berpendapat bahwa
Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pihak.[15]
2. Aliran
Qadariyah
A. Pengertian
Pengertian Qadariyah secara etomologi,
berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan
kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya
bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini
lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.[16]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip
oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang
mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan
dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua
perbuatan, yakni baik dan buruk.
B. Latar Belakang
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak
dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi
menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar
tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk
Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga
pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain
yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran
mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu
kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan
pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap
tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
C. Ajaran-ajaran Qadariyah
Diantara tokoh-tokoh Aliran Qodariyah dan
pendapat-pendapatnya adalah:
1. Ghalian
Pendapatnya adalah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik
atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan
atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. [17]
2. An-Nazzam
Menyatakan bahwa manusia hidup
mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[18]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun
berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di
akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan
atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat
pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan
tindakannya.[19]
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah
dalam pengertian takdir yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu,
yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih
dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
ditentukan sejak ajal terhadap dirinya. Namun dalam faham Qodariyah Dengan
takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta
seluruh isinya, sejak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah
sunnatullah.[20]
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada
alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka
gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu
a. QS al-Kahfi: 29
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
b. QS Ali Imran: 165
Dan Mengapa ketika kamu
ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan
dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata:
"Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan)
dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c. QS ar-Ra'd:11
Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri
mereka sendiri.
d. QS. An-Nisa: 111
Barangsiapa yang
mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan)
dirinya sendiri.
3. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah:
Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan
dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara
yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang
ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan
menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan
Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia
digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan
perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham
Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam
dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam
Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil
naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran
dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di
Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham
Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan
berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi
yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu
sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong
mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai
makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas
perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah.
Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti
berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup
selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah,
meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun
mengajukan pertanyaan yang harus dijawab: adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam
"marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat
satelit kawasan yang dilanda musibah.[21]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kedua aliran baik Qadariyah ataupun Jabariyah
nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka
sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya
kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam,
(Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
Drs. Mustofa. Tauhid. 2005.
Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran
Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5
Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam,
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977)
Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998)
Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan
dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)
Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1997)
[1]
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari
"Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta:
Litera AntarNusa, 2004), hlm. 86
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, hlm. 1
[3] Rosihan
Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:
Puskata Setia, 2006), cet ke-2, hlm. 63
[4]
Harun Nasution, op.cit., hlm. 31
[5] Tim, Enseklopedi
Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet
ke-4, hlm. 239
[6] Adapun
riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah
mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh
murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam
gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap
[7]
Rosihan Anwar, op.cit., h. 64
[8]
Rosihan Anwar, op.cit., hlm. 64-65
[9] Ali
Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1977), hlm. 335
[10]
Drs. Mustofa, Tauhid, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm. 88
[11]
Rosihan Anwar, op.cit., hlm. 67-68
[13]
Rosihan Anwar, op.cit., hlm. 68
[15] Ibid., Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), hlm. 41-42
[16]
Rosihan Anwar, op.cit., hlm. 70
[18]
Harun Nasution, op.cit., h. 31
[19] Rosihan
Anwar, op.cit., h. 73
[20]
Drs. Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 161