Yogyakarta, 05 Juni 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftarisi
BAB I
1.
Pendahuluan
BAB II
2. Pengertian hukum adat
2.1 Sifat hukum adapt
2.3 Corak hukum adapt
2.3 Wilayah hukum adapt indonesia
BAB III
Kesimpulan
BAB IV
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum adat adalah sistem hukum
yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia
lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya
adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan
diri dan elastis.
Keberadaan hukum adat tidak
pernah akan mundur atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun hukum
nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam hukum
nasional yaitu dengan mengangkat hukum rakyat/hukum adat menjadi
hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern.
Pada era Orde Baru pencarian
model hukum nasional memenuhi panggilan zaman untuk menjadi dasar-dasar utama
pembangunan hukum nasional., dimana mengukuhkan hukum
adat akan berarti mengukuhi pluralisme hukum dan tidak berpihak
kepada hukum nasional yang diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi), terlihat bahwa hukum adat plastis dan dinamis serta selalu berubah
secara kekal. Ide kodifikasi dan unifikasi diprakasai
kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum
adat adalah hukum yang neniliki perasaan keadilan masyarakat local yang pluralistis.
Dimana hukum kolonial
yang bertentangan dengan hukum adat adalah merupakan tugas dan komitmen Pemerintah
Orde Baru untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi
kedalam hukum nasional, dimana badan kehakiman diidealkan menjadi hakim yang bebas serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan adalah
harapan sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk
merintis pembaharuan hukum lewat mengartikulasian hukum
dan moral rakyat, telah melakukan konsolidasi dengan dukungan
politik militer dan topangan birokrasi yang distrukturkan secara monolitik
serta mudah dikontrol secara sentral, mengingat peran hukum adat
dalam pembangunan hukum nasional sangat mendesak yang
secara riil tidak tercatat terlalu besar, terkecuali
klaim akan kebenaran moral, pada saat masalah operasionalisasi dan pengefektifan terhadap faham hukum sebagai perekayasa ditangan
Pemerintah yang lebih efektif. Resultante pada era Orde
Baru telah terlanjur terjadi karena kekuatan dan
kekuasaan riil eksekutif dihadapan badan-badan perwakilan telah menjadi tradisi
di Indonesia sejak jaman kolonial dan pada masa sebelumnya dan juga
adanya alasan- alasan lainnya.
BAB II
PENGERTIAN
HUKUM ADAT
Pemahaman
mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley
dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal
ethnocentrism, yakni: the
tendency to view the law of other cultures through the concepts and assumptions of Western.
Padahal, sikap legal ethnocentrism itu
mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum
pada pelbagai masyarakat; dan b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat
sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan kebijakan. Catatan penting yang
dapat diberikan berkenaan dengan Law
and Development tersebut ialah:
..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu perlu, tapi tidaklah cukup untuk pembangunan
ekonomi; adanya ‘the rule of law’
cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan pembangunan politik;
di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal penting yang utama. Pusat
kegawatan utama adalah pada campuran antara: sejarah negara yang unik, aspek
kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya alam dan manusia; dan negara
berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan variannya sendiri
mengenai isi dari ‘the rule of law’
(Tamanaha 1998).
Hukum
adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden
(1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai
Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara
sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama kali menggunakan
istilah adatrecht (hukum adat),
dan ia sebagai peletak teori Receptie,
ia memandang hukum adat identik dengan hukum kebiasaan. Istilah Hukum Adat atau
adatrecht pertama kali
digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini
untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum.
Kemudian
dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai
acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat,
yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajekannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia
mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum
adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Ia
mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum atau persekutuan
hukum (rechtsgemeenschap), hak
ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts),
lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Selanjutnya
Teer Haar; ia dengan mendasarkan analisisnya pada Teori Keputusan yang
dikemukakan oleh John Chipman Grey menyatakan, semua hukum dibuat oleh hakim (Judge made law), ia mengemukakan
Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie).
Mengkaji
hukum adat dari berbagai sudut pandang, namun tetap menunjukkan apa yang
disebut hukum adat, akan menentukan bagaimana hukum adat dalam perkembangannya,
dan hukum adat akan mampu menyesuaian dengan kebutuhan dan tuntutan dalam
masyarakat yang akan terus berubah. Oleh karena itu pemahaman pengertian,
pendekatan metodologis menjadi penting sekali untuk dapat melihat, memahami dan
mempelajari perkembangan hukum adat atau hukum adat dalam perkembangannya.
Hukum
adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan paradigma atau nilai-nilai:
harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter hukum adat.
Kluckhon
mengemukakan: nilai merupakan “a
conception of desirable” (suatu konsepsi yang diinginkan). Maka nilai
ada beberapa tingkatan, yaitu:
1.
Nilai Primer merupakan
nilai pegangan hidup bagi suatu masyarakat, bersifat abstrak dan tetap
seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kebersamaan dan lain sebagainya.
2.
Nilai subsider berkenaan
dengan kegunaan, karena itu lebih berbicara hal-hal yang bersifat
kongkrit. Maka hukum lebih banyak ditujukan pada nilai-nilai sekunder yaitu
nilai-nilai yang berguna untuk memecahkan persoalan kongkrit yang sedang
dihadapi masyarakat, atau orang-perorang. Timbulnya nilai sekunder tersebut,
telah melalui penyaringan (sannering)
oleh nilai-nilai primer. Nilai sekunder bisa berubah menyesuaikan dengan
kebutuhan dan perkembangan dan menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat.
Hukum - termasuk hukum adat - sesungguhnya juga didasarkan pada nilai primer,
namun pendasaran pada nilai sekunder, sifatnya lebih nyata dilihat dan
dipahami.
Hukum
adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan
yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan-perundangan
yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan. Beberapa definisi hukum adat yang
dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1.
Prof.Van
Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum
adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang
pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada
dalam keadaan tidak dikodifikasikan
(karena adat). Abdulrahman , SH
menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan
apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada
masa kini.
2.
Prof.
Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam
peraturan legislative (statuary law),
hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan
Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.
3.
Prof.
Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi
mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat
4.
Prof.
Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat
tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada
umumnya tidak tertulis yang
oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang
bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/
peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat
dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).
5.
Hardjito
Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri
khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata
kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan.
6.
Suroyo
Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan
tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena
mempunyai akibat hukum (sanksi).
7.
Seminar Hukum
Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia,
yang disana sini mengandung unsur agama.
8.
Sudjito
Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang disebut das sollen, tetapi pertama kali harus
mengingat das sein. Hukum adat
merupakan species dari hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya
Selanjutnya
dalam memahami perkembangan hukum adat dalam masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven
merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan
Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia
belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus
diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu
masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka. Dengan kata lain
memahami hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas –
yang memutuskan – dan bawah yang menggunakan - agar dapat diketahui dan
dipahami perkembangannya.
Menurut
Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari
rakyat. Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law)
yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut Satjipto
Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan
Hukum Adat untuk hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam
memberikan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak
terucapkan dalam hukum tertulis.
Azas azas Hukum Adat
Hukum
adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia, yang
bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-azasnya, yaitu:
1.
Azas Gotong
royong;
2.
Azas fungsi
sosial hak miliknya;
3.
Azas
persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
4.
Azas
perwakilan dan musyawaratan dalam sistem pemerintahan
Sifat Corak Hukum Adat.
Sifat Hukum Adat.
Hukum
adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya.
Hukum adat bersifat pragmatisme
–realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat
fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi social atau keadilan
social. Sifat yang menjadi ciri daripada hukum adat sebagai 3 C adalah:
1.
Commun atau komunal atau
kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada individu);
2.
Contant atau Tunai
perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar
mengikatnya perbuatan hukum.
3.
Congkrete atau Nyata, Riil
perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan
hukumnya. 28/10/2008 klas F
Djojodigoeno
menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis
1.
Statis,
hukum adat selalu ada dalam amsyarakat,
2.
Dinamis,
karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang
3.
Plastis/Fleksibel,
kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Sunaryati
Hartono, menyatakan : Dengan perspektif perbandingan, maka ketiga ciri dapat
ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris atau pra industri,
tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati Hartono
sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas Indonesia, namun
dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang masih bersifat pra
industri di luar Indonesia.
Corak Hukum Adat
Soepomo
mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan
perwujudkan dari struktur kejiwaan
dan cara berfikir yang tertentu
oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
1.
Mempunyai
sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat, merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan
yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2.
Mempunyai
corak magisch – religius, yang berhubungan
dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3.
Sistem
hukum itu diliputi oleh pikiran serba
kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan
berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat
mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan
hidup.
4.
Hukum adat
mempunyai sifat visual,
artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan
dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).
Moch
Koesnoe mengemukakan corak hukum adat:
1.
Segala
bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi
tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan
dan pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2.
Masyarakat
sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat
kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang
utuh;
3.
Hukum adat
lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam
lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan
serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan
keselarasan dalam hidup bersama;
4.
Pemberian
kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk
melaksanakan hukum adat.
Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:
1.
Tradisional;
artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat
bersangkutan.
2.
Keagamaan (Magis-religeius); artinya perilaku
hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag
gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.
Kebersamaan
(Komunal), artinya ia lebih
mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi
kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau) . Dudu
sanak dudu kadang yang yen mati melu kelangan (Jw).
4.
Kongkrit/
Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya dapat terlihat, tanpak,
terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima bersamaan (samenval van momentum)
5.
Terbuka dan
Sederhana;
6.
Dapat
berubah dan Menyesuaikan;
7.
Tidak
dikodifikasi;
8.
Musyawarah
dan Mufakat;
Sifat
dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya,
karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh
karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan
aktifitas yang disebut modern.
Wilayah hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring)
di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1.
Hukum Adat
mengenai tata negara
2.
Hukum Adat
mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
3.
Hukum Adat
mengenai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan
secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893,
Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De
Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht"
(bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial
(social control)
yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah
oleh Cornelis
van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar
Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat,
selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara
lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang
dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia,
dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi
awig-awig di Bali.
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini
dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan
gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat
berikut:
1.
Aceh
3.
Nias dan sekitarnya
4.
Minangkabau
5.
Mentawai
7.
Enggano
8.
Melayu
10.
Kalimantan (Dayak)
11.
Sangihe-Talaud
12.
Gorontalo
13.
Toraja
14.
Sulawesi
Selatan (Bugis/Makassar)
15.
Maluku
Utara
17.
Maluku
Tenggara
18.
Papua
19.
Nusa
Tenggara dan Timor
KESIMPULAN
Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia
akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi
“, dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi
kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiaasaan itu menjadi adat, jadi
adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sudarsono,
Drs.SH, Pengantar Hukum Indonesia, Melton Putra Jakarta 1991.
Vab
Alpeldoom.Mr L.J.Prof.Dr.Pengantar Ilmu Hukum, Perca, Jakarta 2008.
Kancil
C.S.C, Drs.SH, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta 1973.